Aristoteles dalam Tradisi Islam: Ketika Ibnu Sina dan Al-Farabi Menjadikan Ilmu sebagai Bagian dari Iman
- Image Creator/Handoko
Ibnu Rusyd (Averroes), misalnya, mengkritik beberapa pandangan Ibnu Sina yang dianggap terlalu menyimpang dari Aristoteles. Ia menegaskan pentingnya membedakan antara filsafat dan teologi, meskipun keduanya saling melengkapi. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana dunia Islam tidak hanya menjadi penjaga warisan Yunani, tetapi juga menjadi inovator dalam bidang filsafat dan sains.
Relevansi Pemikiran Aristoteles dalam Dunia Modern
Hari ini, kita hidup di dunia yang sering kali memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama, antara logika dan iman. Namun, sejarah pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina menunjukkan bahwa kedua hal ini dapat berjalan seiring.
Dalam tradisi Islam, pencarian ilmu pengetahuan adalah bentuk ibadah. Ayat-ayat Al-Qur'an yang mendorong manusia untuk merenungkan alam semesta menjadi dasar bagi berkembangnya ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Pandangan ini tetap relevan dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan kemajuan teknologi.
Selain itu, warisan intelektual Aristoteles yang diterjemahkan dan dikembangkan oleh dunia Islam menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil kolaborasi lintas budaya. Di tengah meningkatnya polarisasi global, kisah ini mengingatkan kita bahwa kemajuan manusia selalu bergantung pada kerja sama, bukan isolasi.
Belajar dari Sejarah untuk Masa Depan
Ketika dunia Islam mengambil pemikiran Aristoteles dan menjadikannya bagian dari tradisi keilmuannya, ia tidak hanya menyelamatkan warisan Yunani, tetapi juga menciptakan landasan bagi ilmu pengetahuan modern. Ibnu Sina dan Al-Farabi menunjukkan bahwa filsafat dan iman dapat berjalan seiring, memperkaya pemahaman manusia tentang dunia dan dirinya sendiri.