Gaya Hidup Pejabat vs Beban Pajak Rakyat: Refleksi Pemikiran Ibnu Khaldun

Mukadimah Karya Ibnu Khaldun
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA- Dalam karya monumentalnya, Mukadimah, Ibnu Khaldun mengungkapkan pandangannya mengenai ekonomi, politik, dan peran pajak dalam stabilitas negara. Salah satu bagian penting yang disorot oleh Ibnu Khaldun adalah siklus peradaban, yang mencakup fase naik dan turunnya kekuatan suatu negara. Ia percaya bahwa kebijakan pajak yang tidak adil dan pengelolaan kekayaan negara yang buruk bisa mempercepat keruntuhan suatu peradaban.

Ketika Pajak Membebani: Relevansi Mukadimah Ibnu Khaldun di Era Modern

Di Indonesia, kebijakan pemerintah yang baru-baru ini mengusulkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% menuai perdebatan panas. Kenaikan ini muncul di tengah kekhawatiran publik terhadap gaya hidup mewah yang ditampilkan oleh sebagian pejabat pemerintah. Gaya hidup pejabat yang mewah, dikombinasikan dengan kebijakan pajak yang dianggap memberatkan rakyat, memunculkan pertanyaan apakah pemerintah benar-benar memahami prinsip keadilan yang diajarkan oleh Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun dan Keadilan dalam Kebijakan Pajak

Pajak yang Adil untuk Semua: Apa Kata Ibnu Khaldun?

Salah satu prinsip penting yang diajarkan oleh Ibnu Khaldun dalam Mukadimah adalah keadilan sebagai fondasi utama stabilitas negara. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ketika pemerintah tidak adil dalam menetapkan kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pajak, maka kekuatan negara akan mulai rapuh. Dalam bukunya, ia menulis:

"Keadilan adalah dasar bagi pemerintahan, dan penindasan adalah tanda kehancurannya. Ketika pemerintah berlaku tidak adil melalui pajak yang berlebihan, kekayaan rakyat terkuras, usaha mereka terhambat, dan negara kehilangan sumber kekuatannya."

Lebih Baik Menderita Demi Keadilan": Pesan Abadi Fyodor Dostoevsky untuk Dunia Modern

Pandangan ini sangat relevan untuk dipertimbangkan dalam konteks kebijakan pajak di Indonesia, khususnya terkait dengan kenaikan PPN yang dianggap memberatkan sebagian besar masyarakat, terutama kalangan bawah dan menengah. Dengan adanya kenaikan PPN, harga barang dan jasa akan meningkat, yang pada akhirnya menambah beban ekonomi bagi rakyat. Hal ini sejalan dengan peringatan Ibnu Khaldun bahwa kebijakan pajak yang tidak adil akan mengurangi produktivitas dan kesejahteraan masyarakat.

Gaya Hidup Mewah Pejabat dan Ketimpangan Sosial

Selain kebijakan pajak, salah satu faktor yang memicu ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah adalah gaya hidup mewah yang ditampilkan oleh sebagian pejabat publik. Dalam banyak kasus, pejabat yang menikmati kekayaan dan kemewahan, sementara rakyatnya berjuang dengan pajak yang semakin tinggi, bisa memicu ketimpangan sosial yang tajam. Ibnu Khaldun, dalam Mukadimah, mengingatkan kita bahwa ketimpangan sosial yang semakin lebar bisa merusak solidaritas sosial (asabiyah) dalam suatu masyarakat, yang pada gilirannya akan melemahkan stabilitas negara.

"Ketika kekuasaan mencapai puncaknya, pajak dinaikkan untuk memenuhi kebutuhan mewah penguasa, yang akhirnya merusak ekonomi dan membawa kehancuran."

Gaya hidup mewah pejabat publik yang berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi rakyat dapat memperburuk ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Hal ini memperparah ketimpangan sosial dan mempercepat penurunan stabilitas ekonomi dan politik, sebagaimana yang telah diperingatkan oleh Ibnu Khaldun.

Kenaikan PPN 12% di Indonesia: Implikasi Ekonomi dan Sosial

Kenaikan PPN 12% yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia mulai diberlakukan pada 1 Januari 2024, di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih setelah pandemi COVID-19, telah memicu kontroversi. Pihak yang menentang kebijakan ini berargumen bahwa kenaikan pajak akan semakin memberatkan rakyat, terutama kelompok menengah ke bawah. Mereka khawatir kenaikan ini akan meningkatkan harga barang dan jasa, sehingga daya beli masyarakat akan semakin menurun.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif, ketimpangan pendapatan antar kelompok sosial tetap tinggi. Menurut data Indeks Gini yang dikeluarkan oleh BPS, Indonesia masih menghadapi masalah ketimpangan yang cukup signifikan. Oleh karena itu, kenaikan PPN dapat memperburuk ketimpangan ini, terutama jika kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan sosial yang dapat membantu meringankan beban masyarakat miskin dan menengah.

Relevansi Pandangan Ibnu Khaldun dengan Kenaikan PPN di Indonesia

Pandangan Ibnu Khaldun mengenai pentingnya keadilan dalam kebijakan pajak sangat relevan untuk memahami situasi ini. Jika pemerintah terus menaikkan pajak tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi rakyat, maka akan terjadi ketidakadilan yang berujung pada ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Khaldun, kebijakan pajak yang adil harus mampu menyeimbangkan kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat.

"Sebuah negara yang bijaksana adalah yang mampu menyeimbangkan pendapatan negara melalui pajak tanpa membebani rakyat, karena dari kesejahteraan rakyatlah kekayaan negara bertumbuh."

Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa pajak seharusnya tidak hanya dilihat sebagai sumber pendapatan negara, tetapi juga sebagai instrumen untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Kenaikan PPN yang signifikan, jika tidak diiringi dengan kebijakan yang lebih mendukung kesejahteraan rakyat, bisa jadi akan membawa dampak negatif bagi stabilitas negara dalam jangka panjang.

Menjaga Keadilan dalam Kebijakan Pajak

Dalam menghadapi kebijakan kenaikan PPN 12% ini, penting untuk merujuk pada prinsip-prinsip keadilan yang diajarkan oleh Ibnu Khaldun. Pemerintah harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi rakyat, terutama kelompok yang lebih rentan, dan memastikan bahwa kebijakan ini tidak mengorbankan kesejahteraan mereka. Jika tidak, kita berisiko melihat penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan stabilitas ekonomi yang terganggu.

Mengambil hikmah dari Mukadimah Ibnu Khaldun, kita harus menyadari bahwa pajak bukan hanya alat untuk menghasilkan pendapatan negara, tetapi juga alat untuk memastikan keadilan sosial dan stabilitas ekonomi. Negara yang bijaksana adalah negara yang mampu menyeimbangkan kepentingan negara dengan kepentingan rakyatnya, menciptakan solidaritas sosial, dan memastikan kesejahteraan bersama.