Paulo Freire: Dialog adalah Cinta, Kerendahan Hati, dan Harapan
- Cuplikan layar
Kutipan ini sangat relevan dengan realitas pendidikan di Indonesia. Dalam banyak ruang kelas, dialog masih dimaknai sebagai tanya-jawab searah. Guru masih dominan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, sementara siswa hanya penerima pasif.
Hal ini menciptakan suasana belajar yang kaku dan menakutkan. Banyak siswa tidak berani bertanya atau mengemukakan pendapat karena takut dianggap melawan. Padahal, semangat dialog adalah dasar dari pendidikan kritis. Ketika guru dan murid bisa berdialog secara sejajar, terciptalah ruang belajar yang sehat dan membebaskan.
Demikian juga dalam konteks masyarakat. Indonesia sebagai negara yang kaya akan perbedaan suku, agama, dan budaya sangat membutuhkan ruang-ruang dialog yang sehat. Jika kita tidak belajar berdialog dengan cinta, kerendahan hati, dan harapan, maka yang terjadi adalah konflik, kecurigaan, dan perpecahan.
Dialog sebagai Gerakan Sosial
Freire tidak hanya berbicara dalam konteks ruang kelas. Ia memandang dialog sebagai bagian dari gerakan sosial. Dalam perjuangan masyarakat tertindas, dialog menjadi sarana untuk membangun kesadaran kolektif. Dialog menjadi alat untuk menyusun strategi perubahan. Dialog menjadi jembatan antara mimpi dan kenyataan.
Di berbagai pelosok dunia, pendekatan Freire digunakan dalam gerakan pendidikan rakyat. Di Brazil, dialog digunakan untuk mengajar orang dewasa membaca dan menulis sambil membahas isu-isu sosial. Di Afrika Selatan, pendekatan serupa digunakan dalam pendidikan pasca-apartheid. Di Indonesia, semangat ini bisa diadopsi dalam program pemberdayaan masyarakat desa, pendidikan literasi, hingga advokasi sosial.
Tantangan dalam Mewujudkan Dialog Sejati