Plato dan Sosok Sokrates dalam Dialog-Dialog Filosofis: Antara Representasi Historis dan Kekuatan Sastra
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA — Sosok Sokrates menjadi figur sentral dalam hampir semua dialog yang ditulis oleh Plato, filsuf besar dari Yunani Kuno yang hingga kini tetap menjadi poros penting dalam pemikiran filsafat dunia. Menurut catatan sejarah dan kesaksian kuno, satu-satunya karya Plato yang tidak menampilkan Sokrates adalah Laws, yang diyakini sebagai salah satu tulisan terakhirnya. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa Sokrates bukan hanya tokoh penting dalam hidup Plato secara pribadi, tetapi juga sumber inspirasi utama dalam pengembangan filsafatnya.
Yang menarik, Plato bukanlah satu-satunya tokoh yang menggambarkan Sokrates sebagai karakter utama dalam karya sastra. Aristophanes, penulis komedi terkenal, menampilkan Sokrates dalam lakonnya Clouds, meskipun dalam bentuk satire yang tajam dan mengejek. Xenophon, seorang sejarawan dan pemimpin militer, juga menulis Apology of Socrates dan karya-karya lain yang menampilkan Sokrates sebagai pembicara utama. Bahkan, beberapa rekan dan murid Sokrates seperti Aeschines, Antisthenes, Eucleides, dan Phaedo juga tercatat menulis dialog yang menggambarkan percakapan filosofis antara Sokrates dan tokoh lain. Meskipun sebagian besar karya tersebut hanya tersisa dalam bentuk fragmen, keberadaannya menunjukkan betapa besar pengaruh Sokrates terhadap dunia pemikiran sezamannya.
Dengan demikian, ketika Plato menulis dialog-dialog filsafat yang menampilkan Sokrates, ia tidak hanya menciptakan karya literasi, tetapi juga turut serta dalam diskursus intelektual yang luas tentang siapa Sokrates itu dan apa nilai dari percakapan-percakapan filosofis yang ia lakukan. Aristophanes memang memberikan kritik tajam terhadap Sokrates dan intelektual sezamannya, khususnya di tahun 420-an SM. Namun, dari tangan Plato dan Xenophon, serta para penulis dialog Socratic lainnya di era 390-an dan seterusnya, kita mendapat gambaran yang jauh lebih positif tentang tokoh Sokrates.
Reaksi mendalam dari para penulis kuno terhadap Sokrates menunjukkan betapa kuat kehadiran intelektualnya. Sosoknya mampu menginspirasi generasi demi generasi untuk menuliskan kembali percakapan dan ajaran-ajarannya. Namun demikian, hanya tiga tokoh yang karya-karyanya tentang Sokrates dapat dinikmati secara utuh hingga kini: Aristophanes, Xenophon, dan Plato. Di antara ketiganya, Clouds dari Aristophanes memiliki nilai historis yang paling kecil dalam menjelaskan metode filsafat khas Sokrates. Karya tersebut lebih merupakan sindiran terhadap tipe filsuf tertentu yang dicitrakan sebagai sosok berambut panjang, tidak mandi, dan menyelidiki hal-hal aneh yang jauh dari kenyataan sehari-hari.
Sementara itu, penggambaran Sokrates oleh Xenophon dinilai lebih sederhana dan tidak memiliki kedalaman filosofis seperti dalam tulisan Plato. Walau mungkin memiliki nilai historis tertentu, Xenophon tidak dianggap sebagai filsuf besar. Ketika membaca karya-karyanya, pembaca tidak sedang diajak berdiskusi dengan pikiran filsuf besar, melainkan sekadar mendengar narasi dari seorang saksi sejarah.
Sebaliknya, dalam membaca dialog-dialog Plato, seperti Apology, Gorgias, atau Symposium, pembaca seperti diajak berdialog langsung dengan pemikiran yang sangat tajam, kritis, dan mendalam. Sosok Sokrates dalam tulisan Plato memang bisa dianggap sebagai tokoh historis, tetapi juga merupakan medium bagi Plato sendiri untuk menyampaikan gagasan-gagasan filosofisnya yang kompleks. Karena itulah, meskipun banyak pembaca awalnya tertarik pada tokoh Sokrates, pada akhirnya mereka tetap membaca Plato karena ingin menyelami pikiran seorang filsuf yang sangat besar.
Penting untuk diingat bahwa meskipun Plato menggunakan nama dan sosok Sokrates, ia bukanlah pencatat pasif ajaran gurunya. Para ahli sepakat bahwa Plato bukan sekadar penyalin kata-kata Sokrates, dan bahwa tokoh “Sokrates” dalam dialog-dialognya lebih merupakan konstruksi sastra-filosofis untuk menyampaikan ide-ide Plato sendiri. Dengan demikian, membaca karya Plato berarti masuk ke dalam dunia pemikiran yang kaya, di mana dialog dan perdebatan menjadi sarana utama untuk mengeksplorasi kebenaran, keadilan, kebajikan, dan hakikat hidup manusia.