Mengungkap Propaganda Media: Bagaimana Elite Mengontrol Informasi untuk Membentuk Opini Publik
- Cuplikan Layar
Jakarta, WISATA - Media massa adalah salah satu pilar penting dalam kehidupan modern. Ia menjadi sumber informasi utama yang membentuk opini publik, menentukan arah diskusi, hingga memengaruhi kebijakan. Namun, bagaimana jika media, yang seharusnya menjadi penyalur informasi netral, justru digunakan sebagai alat propaganda untuk melayani kepentingan elite tertentu? Pertanyaan ini menjadi pusat perhatian dalam buku Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media karya Noam Chomsky dan Edward S. Herman. Buku ini mengungkap bagaimana media massa, dalam kerangka kapitalisme modern, dapat digunakan untuk mengontrol informasi publik demi keuntungan politik dan ekonomi.
Media dan Kekuasaan: Siapa yang Mengendalikan Narasi?
Dalam buku Manufacturing Consent, Chomsky dan Herman memperkenalkan konsep Model Propaganda, yang menjelaskan bagaimana media tidak hanya menyampaikan fakta tetapi juga menyaring dan membentuk narasi yang menguntungkan kekuasaan. Model ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat kapitalis, media massa tidak sepenuhnya independen. Sebaliknya, mereka terintegrasi dalam struktur kekuasaan ekonomi dan politik yang lebih luas.
Salah satu temuan utama dalam buku ini adalah bahwa media sering kali tidak melaporkan fakta secara objektif, tetapi menyusun informasi dengan cara yang mendukung kepentingan perusahaan besar, pemerintah, dan elite ekonomi. Misalnya, konflik di negara dunia ketiga sering kali diberitakan dengan sudut pandang yang sesuai dengan kebijakan luar negeri negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat.
Lima Filter Propaganda: Mekanisme di Balik Manipulasi Media
Chomsky dan Herman menjelaskan bahwa media menggunakan lima "filter" utama untuk menentukan apa yang dilaporkan kepada publik:
1. Kepemilikan Media
Sebagian besar media dimiliki oleh korporasi besar yang memiliki kepentingan ekonomi. Pemilik media ini sering kali terhubung dengan elite politik sehingga mereka memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo. Data dari Statista (2023) menunjukkan bahwa hanya lima perusahaan besar, seperti Comcast dan Disney, yang menguasai lebih dari 75% media di Amerika Serikat. Dominasi semacam ini menciptakan monopoli informasi.
2. Pendanaan dari Iklan
Media sangat bergantung pada iklan sebagai sumber pendapatan utama. Akibatnya, mereka cenderung memproduksi konten yang tidak mengganggu kepentingan pengiklan. Sebagai contoh, media jarang mengkritik perusahaan besar yang menjadi sumber utama pendapatan iklan mereka.
3. Ketergantungan pada Sumber Resmi
Jurnalis sering kali bergantung pada sumber resmi seperti pemerintah atau perusahaan besar untuk mendapatkan informasi. Ketergantungan ini menciptakan bias, karena media jarang menantang narasi resmi demi menjaga akses mereka.
4. Flak (Kritik Organisasi)
Jika media menyajikan informasi yang bertentangan dengan kepentingan elite, mereka dapat menghadapi tekanan berupa kritik keras, kampanye negatif, hingga ancaman hukum. Tekanan semacam ini membuat media enggan melawan arus.
5. Ideologi atau Musuh Bersama
Pada era Perang Dingin, anti-komunisme menjadi kerangka narasi utama. Hari ini, ancaman seperti terorisme atau propaganda anti-imigrasi sering digunakan untuk membenarkan kebijakan tertentu dan membentuk opini publik.
Studi Kasus: Manipulasi Informasi dalam Konflik Dunia
Buku ini juga memberikan contoh nyata bagaimana propaganda media bekerja. Salah satunya adalah liputan Perang Vietnam. Media Amerika menggambarkan perang ini sebagai upaya untuk mempertahankan demokrasi melawan komunisme, meskipun ada bukti kuat bahwa banyak pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh pihak AS. Laporan dari The New York Times Archives menunjukkan bahwa hingga 1970-an, sebagian besar berita tentang Perang Vietnam tidak menampilkan pandangan kritis terhadap kebijakan luar negeri AS.
Studi lain melibatkan peliputan konflik di negara-negara seperti Nikaragua dan El Salvador. Chomsky dan Herman menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia oleh sekutu AS sering diabaikan, sementara tindakan serupa oleh negara-negara yang dianggap musuh AS mendapatkan perhatian besar.
Era Digital: Propaganda Media di Zaman Modern
Meskipun buku ini diterbitkan pada tahun 1988, gagasan dalam Manufacturing Consent tetap relevan, terutama di era digital. Saat ini, dominasi media tradisional telah digantikan oleh platform digital seperti Google, Facebook, dan Twitter. Namun, pola yang sama terlihat jelas: algoritma media sosial sering kali dirancang untuk memprioritaskan konten yang menguntungkan pengiklan atau narasi politik tertentu.
Menurut laporan Reuters Institute (2023), lebih dari 60% orang mendapatkan berita mereka dari media sosial. Namun, algoritma platform ini sering kali mempromosikan konten yang mempolarisasi, memperkuat bias, dan menyebarkan disinformasi. Hal ini membuat publik semakin sulit untuk membedakan antara fakta dan propaganda.
Mengapa Kita Harus Peduli?
Pemahaman tentang bagaimana media bekerja sangat penting karena media memainkan peran sentral dalam demokrasi. Jika media digunakan untuk menyebarkan propaganda, maka keputusan politik yang dibuat oleh masyarakat tidak lagi berdasarkan fakta, melainkan narasi yang sudah dimanipulasi.
Berdasarkan data dari Freedom House (2022), kebebasan pers global terus mengalami penurunan selama satu dekade terakhir. Di banyak negara, media dikendalikan oleh pemerintah atau korporasi besar, yang berarti bahwa akses publik terhadap informasi yang objektif semakin terbatas.
Saatnya Menjadi Konsumen Media yang Kritis
Manufacturing Consent memberikan pelajaran berharga bahwa kita tidak boleh menerima informasi dari media begitu saja. Penting untuk memahami konteks di balik berita, termasuk siapa yang memiliki media tersebut, siapa yang mendanainya, dan apa motif di balik narasi yang mereka sampaikan.
Di tengah arus informasi yang semakin deras, menjadi konsumen media yang kritis adalah langkah pertama untuk melawan propaganda dan memastikan bahwa opini publik didasarkan pada fakta, bukan manipulasi. Dengan memahami bagaimana kekuasaan mengontrol informasi, kita dapat membangun masyarakat yang lebih sadar dan demokratis