Tren Wisata Alam dan Relaksasi di 2025: Cari Ketenangan di Tengah Hingar Dunia
- Image Creator bing/Handoko
Selain itu, Ramadan 1446 H yang dimulai hari ini juga turut memengaruhi. Bulan puasa sering diasosiasikan dengan refleksi dan ketenangan, sehingga wisatawan cenderung mencari destinasi yang mendukung suasana tersebut. Pegunungan atau pantai yang sepi, misalnya, menjadi pilihan ideal untuk ngabuburit atau sekadar menikmati keheningan sebelum berbuka.
Dampak pada Industri Pariwisata
Bagi pelaku industri pariwisata, tren ini membuka peluang besar. Pengelola destinasi alam seperti Taman Nasional Bromo Tengger Semeru atau Kawasan Konservasi Raja Ampat bisa memanfaatkan minat ini dengan menawarkan paket yang lebih terjangkau atau fasilitas tambahan seperti jalur trekking yang aman. Sementara itu, hotel dan resor punya kesempatan untuk berinovasi dengan konsep wisata tidur.
Sebagai contoh, beberapa penginapan di Puncak, Bogor, mulai menyediakan kamar dengan matras khusus dan jendela besar menghadap pegunungan—menggoda wisatawan untuk bersantai lebih lama. Di Lombok, resor pinggir pantai seperti di Gili Trawangan juga menawarkan paket “digital detox”, mengajak tamu untuk menjauh dari gadget dan fokus pada ketenangan.
Namun, ada tantangan yang harus dihadapi. Destinasi alam rentan terhadap kerusakan jika tidak dikelola dengan baik. Lonjakan wisatawan bisa berarti lebih banyak sampah atau erosi di jalur pegunungan. Untuk wisata tidur, investasi pada fasilitas premium—seperti kamar kedap suara atau layanan wellness—membutuhkan biaya besar yang belum tentu terjangkau oleh semua pelaku usaha.
Wisatawan: Antara Petualangan dan Ketenangan
Bagi wisatawan, tren ini menawarkan dua sisi yang saling melengkapi. Ada yang memilih petualangan ringan—like hiking ke Gunung Prau di Wonosobo atau snorkeling di Pulau Menjangan, Bali—sambil menikmati alam. Ada pula yang lebih condong ke relaksasi total, seperti menginap di cottage di tepi Danau Toba atau villa di lereng Gunung Merbabu.