Kritik Para Filsuf terhadap "Nikomakhos Etika" Aristoteles

Socrates Berbincang dengan Aristoteles (ilustrasi)
Sumber :
  • Handoko/Istimewa

Malang, WISATA - Aristoteles, seorang filsuf besar dari Yunani kuno, meninggalkan warisan intelektual yang luar biasa melalui karya-karyanya, termasuk "Nikomakhos Etika." Karya ini, yang berfokus pada etika dan kebajikan, telah menjadi landasan penting dalam filsafat moral. Namun, seperti semua karya besar, "Nikomakhos Etika" tidak luput dari kritik para filsuf sepanjang sejarah. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi berbagai kritik yang dilontarkan terhadap konsep-konsep Aristoteles dalam "Nikomakhos Etika."

Begini Perspektif dan konsepsi Para Filsuf Muslim tentang Keadilan

Kritik Terhadap Konsep Kebajikan

Salah satu kritik utama terhadap "Nikomakhos Etika" adalah konsep kebajikan (arete) yang diperkenalkan oleh Aristoteles. Para filsuf seperti Friedrich Nietzsche berpendapat bahwa pandangan Aristoteles tentang kebajikan terlalu idealis dan tidak realistis. Nietzsche menganggap bahwa kebajikan yang dikemukakan Aristoteles, seperti keberanian dan kedermawanan, tidak selalu membawa keuntungan praktis dalam kehidupan nyata dan terkadang dapat merugikan individu yang terlalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip tersebut.

Plato: "Keadilan Tidak Berasal dari Hukum, tetapi dari Watak Manusia"

Kritik Terhadap Konsep Golden Mean

Aristoteles memperkenalkan konsep Golden Mean, yang menyatakan bahwa kebajikan terletak di tengah-tengah antara dua ekstrem yang berlebihan dan kekurangan. Kritik terhadap konsep ini datang dari filsuf-filsuf seperti Immanuel Kant, yang menganggap bahwa konsep Golden Mean terlalu relatif dan subjektif. Menurut Kant, moralitas harus didasarkan pada prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan secara konsisten, bukan pada keseimbangan yang bervariasi tergantung situasi.

Plato: "Keadilan Berarti Melakukan Tugas Anda dan Tidak Mencampuri Urusan Orang Lain"

Kritik Terhadap Pandangan Teleologis

Pandangan teleologis Aristoteles, yang menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki tujuan akhir (telos), juga mendapat kritik. Filsuf modern seperti Jean-Paul Sartre menolak pandangan ini dengan menyatakan bahwa kehidupan manusia tidak memiliki tujuan intrinsik yang tetap. Sartre, sebagai seorang eksistensialis, berpendapat bahwa manusia bebas menentukan makna dan tujuan hidup mereka sendiri, tanpa dipengaruhi oleh tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Halaman Selanjutnya
img_title