Filosofi Kuno Marcus Aurelius yang Masih Relevan Hari Ini

Marcus Aurelius Tokoh Stoic
Sumber :
  • Traderu

Meski hidup dua ribu tahun lalu, ajaran Marcus Aurelius tetap menjadi panduan hidup yang relevan, terutama di tengah dunia modern yang penuh tantangan.

“Belajar Filsafat Berarti Belajar Bagaimana Menjadi Manusia”: Gagasan Revolusioner Pierre Hadot

Jakarta, WISATA – Dunia telah berubah drastis sejak zaman Kekaisaran Romawi. Teknologi berkembang pesat, kehidupan semakin kompleks, dan tantangan manusia makin beragam. Namun di tengah gemuruh zaman modern ini, filsafat kuno justru kembali menggema. Salah satunya adalah ajaran dari seorang Kaisar yang juga filsuf: Marcus Aurelius.

Marcus Aurelius bukan hanya dikenal sebagai penguasa Kekaisaran Romawi yang bijaksana, tetapi juga sebagai tokoh utama dalam aliran Stoisisme. Melalui buku terkenalnya Meditations, ia meninggalkan warisan pemikiran yang tidak hanya menyentuh para filsuf dan pemikir, tetapi juga para pemimpin, profesional, hingga masyarakat umum di era digital ini.

"Filsafat Tidak Dilahirkan dari Rasa Ingin Tahu, tetapi dari Rasa Cemas": Pesan Mendalam Pierre Hadot

Mengapa ajaran seorang Kaisar dari abad ke-2 Masehi masih relevan hari ini? Inilah jawabannya.

 

1. Fokus pada Apa yang Bisa Dikendalikan

Pierre Hadot: “Filsafat adalah Pilihan Eksistensial yang Menuntut Transformasi Cara Hidup”

Di zaman penuh distraksi dan ketidakpastian seperti sekarang, banyak orang merasa stres karena mencoba mengontrol hal-hal di luar jangkauan mereka: opini orang lain, algoritma media sosial, hingga masa depan yang belum terjadi.

Marcus Aurelius menawarkan solusi sederhana:

“You have power over your mind – not outside events. Realize this, and you will find strength.”
(Kamu punya kuasa atas pikiranmu—bukan atas peristiwa di luar dirimu. Sadarilah ini, dan kamu akan menemukan kekuatan.)

Ajaran ini kini digunakan dalam psikologi modern, termasuk terapi kognitif. Fokus pada kendali diri terbukti mampu menurunkan kecemasan dan meningkatkan ketenangan.

 

2. Menerima Kehidupan dengan Lapang Dada

Stoisisme tidak mengajarkan untuk pasrah, melainkan untuk menerima kenyataan secara rasional dan bijak. Dunia tidak selalu berjalan sesuai harapan. Namun, bagaimana kita menyikapinya itulah yang menentukan kualitas hidup kita.

“Accept whatever comes to you woven in the pattern of your destiny.”
(Terimalah apa pun yang datang padamu sebagai bagian dari takdirmu.)

Di masa pandemi, krisis iklim, dan ketidakpastian ekonomi, prinsip ini mengajarkan bahwa menerima tidak sama dengan menyerah, melainkan bentuk kekuatan batin.

 

3. Hidup Sesuai Nilai, Bukan Opini Publik

Kita hidup di era opini dan pencitraan. Validasi eksternal sering kali menjadi tolak ukur harga diri. Marcus Aurelius mengingatkan bahwa integritas lebih penting daripada popularitas.

“Do not waste what remains of your life in speculating about others.”
(Jangan buang sisa hidupmu dengan berspekulasi tentang orang lain.)

Filsafatnya mengajak kita untuk menjalani hidup berdasarkan nilai: kejujuran, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Nilai-nilai ini menjadi jangkar di tengah derasnya arus pencitraan dan kompetisi sosial.

 

4. Refleksi Diri Setiap Hari

Marcus Aurelius menulis Meditations sebagai jurnal pribadi. Ia merenungkan tindakannya, memperbaiki dirinya, dan mencari arah hidup yang lebih baik. Kebiasaan ini kini diadopsi oleh banyak pemimpin dan tokoh dunia sebagai latihan kesadaran diri.

Di tengah rutinitas modern yang sibuk, refleksi diri menjadi alat untuk menemukan makna dan arah, bukan sekadar mengejar pencapaian.

 

5. Menemukan Kebahagiaan dari Dalam Diri

Marcus percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari luar, melainkan dari sikap batin terhadap kehidupan. Ketika kita bisa menerima kenyataan, menjaga integritas, dan bertindak sesuai nilai, maka kita akan merasa cukup—meskipun dunia tidak sempurna.

“Very little is needed to make a happy life; it is all within yourself, in your way of thinking.”
(Sangat sedikit yang dibutuhkan untuk hidup bahagia; semuanya ada dalam dirimu, dalam cara berpikirmu.)

Filsafat ini menentang gagasan kebahagiaan sebagai hasil materi, dan malah mendorong kesadaran akan cukup dan rasa syukur.

 

Penutup: Warisan Abadi Seorang Kaisar

Filsafat Marcus Aurelius bukan sekadar teori kuno di buku sejarah. Ia adalah panduan praktis yang menjangkau lintas zaman, dari medan perang Romawi hingga ruang rapat CEO masa kini, dari kesunyian para biarawan hingga hiruk pikuk media sosial zaman modern.

Di tengah dunia yang terus berubah, ajarannya justru memberikan stabilitas. Di tengah kekacauan, ia menghadirkan kejernihan. Dan di tengah pencarian makna, ia menawarkan kebijaksanaan yang sederhana namun mendalam.

Marcus Aurelius telah membuktikan bahwa kekuasaan sejati bukan berasal dari jabatan, tetapi dari kemampuan mengendalikan diri, berpikir jernih, dan bertindak dengan bijak. Inilah mengapa, meski sudah lebih dari dua ribu tahun berlalu, filosofi hidupnya tetap hidup dan menjadi cahaya penuntun bagi mereka yang mencari ketenangan dan makna di dunia yang serba cepat ini.