Aurelius Menyikapi Kebencian dan Kritik: Bisa Kita Tiru!
- Image Creator Bing/Handoko
Dihujat, dikritik, bahkan dikhianati, Marcus Aurelius tetap tenang. Rahasianya? Filsafat dan penguasaan diri yang bisa kita pelajari.
Jakarta, WISATA – Dunia modern yang penuh opini, komentar pedas, dan tekanan publik sering membuat orang cepat terbakar emosi. Hanya satu unggahan di media sosial bisa memicu badai kritik. Namun fenomena ini bukanlah hal baru. Dua ribu tahun lalu, seorang kaisar Romawi bernama Marcus Aurelius juga mengalami tekanan, pengkhianatan, dan kritik tajam—baik dari dalam istana maupun dari rakyatnya sendiri.
Namun alih-alih membalas dengan kemarahan atau membungkam para pengkritiknya, Marcus memilih jalan yang berbeda: ketenangan, pengendalian diri, dan kebijaksanaan. Cara dia menyikapi kebencian dan kritik menjadi contoh luar biasa tentang bagaimana seharusnya kita bereaksi di era digital yang bising dan reaktif.
Mengapa Marcus Tidak Mudah Terpancing Emosi?
Marcus Aurelius adalah pemimpin yang memegang teguh prinsip Stoisisme, filsafat yang menekankan pada kendali atas pikiran dan sikap pribadi, bukan peristiwa luar. Ketika orang lain menyerang atau menghina, ia tidak langsung bereaksi. Sebaliknya, ia bertanya pada dirinya sendiri: "Apakah ini benar? Apakah ini penting? Apakah ini pantas untuk membuatku marah?"
“When someone does you wrong, immediately consider what notion of good or evil they had in doing it.”
(Ketika seseorang menyakitimu, pikirkan segera: seperti apa pandangan mereka tentang baik dan buruk sehingga mereka bertindak seperti itu.)
Marcus percaya bahwa orang bertindak berdasarkan pemahamannya sendiri. Jadi, alih-alih marah, dia mencoba memahami. Ini bukan berarti membiarkan orang berlaku semena-mena, tapi menunjukkan bahwa memahami lebih kuat daripada menghakimi.