Kisah Persidangan Socrates: Ketika Kebenaran Justru Dihukum Mati
- Image Creator/Handoko
Malang, WISATA- Di antara deretan nama besar dalam sejarah filsafat, Socrates menempati posisi unik: bukan hanya karena pemikirannya yang radikal, tetapi karena cara hidup dan matinya. Ia bukan hanya seorang filsuf, tetapi simbol dari keberanian berpikir dan kejujuran intelektual. Salah satu momen paling tragis sekaligus menggetarkan dalam sejarah dunia adalah persidangannya—sebuah kisah nyata ketika kebenaran bukan dirayakan, tetapi justru dihukum mati.
Kisah persidangan Socrates bukan sekadar peristiwa sejarah. Ia adalah potret bagaimana masyarakat bisa gagal menerima kebenaran yang tidak nyaman, dan bagaimana seorang manusia memilih mati daripada mengkhianati prinsip-prinsipnya sendiri. Mari kita menelusuri lebih dalam mengapa Socrates diadili, apa yang terjadi dalam ruang sidang, dan mengapa racun hemlock menjadi akhir dari kisahnya.
Latar Belakang: Filsuf Jalanan yang Mengusik
Socrates hidup di Athena pada abad ke-5 SM, sebuah era di mana demokrasi baru mulai tumbuh dan kebebasan berpendapat sedang diuji. Tidak seperti filsuf lainnya, ia tidak menulis buku atau mengajar di sekolah formal. Socrates memilih jalan berbeda: ia berdialog dengan masyarakat di pasar, di taman, bahkan di jalanan.
Metodenya yang khas, yaitu Socratic Method, berupa tanya-jawab mendalam, sering kali membuat lawan bicaranya menyadari bahwa pengetahuan mereka dangkal. Ia bukan bermaksud mempermalukan, tetapi memancing kesadaran diri. Sayangnya, banyak orang—terutama yang berkuasa—merasa terganggu dan terancam.
Tuduhan terhadap Socrates
Pada tahun 399 SM, Socrates resmi diadili oleh pengadilan Athena. Tuduhan yang dijatuhkan kepadanya adalah:
1. Merusak moral generasi muda
2. Tidak menghormati dewa-dewa negara dan memperkenalkan kepercayaan baru
Tuduhan ini tidak berdiri sendiri. Di baliknya ada ketegangan politik dan sosial. Athena baru saja mengalami kekalahan besar dalam Perang Peloponnesos. Rasa frustrasi dan ketidakpastian membuat masyarakat mudah mencari “kambing hitam”. Socrates, dengan sikapnya yang anti-otoritas dan mengajak berpikir bebas, menjadi sasaran empuk.
Dalam Ruang Sidang: Keberanian Tanpa Topeng
Dalam persidangan, Socrates tidak membela diri dengan rayuan atau kepura-puraan. Ia tidak mencoba mencari simpati atau lari dari tanggung jawab. Sebaliknya, ia dengan tenang menyampaikan argumen-argumennya. Dalam pidatonya yang kemudian dicatat oleh muridnya Plato dalam “Apologia”, Socrates berkata:
“Saya lebih takut melakukan kesalahan daripada mati.”
Ia menegaskan bahwa pekerjaannya sebagai “pengganggu” di Athena—yang mempertanyakan, memprovokasi, dan mendorong orang berpikir—adalah tugas mulia yang dititipkan dewa kepadanya.
Socrates bahkan berkata bahwa jika ia dibebaskan dengan syarat harus berhenti bertanya dan berdialog, ia lebih memilih mati.
Putusan dan Hukuman Mati
Dari sekitar 500 juri, mayoritas menyatakan Socrates bersalah. Ketika diberi kesempatan untuk mengusulkan hukumannya sendiri, Socrates dengan nada satir justru mengusulkan agar ia diberi makan gratis seumur hidup sebagai bentuk penghargaan atas jasanya mendidik masyarakat.
Akhirnya, ia dijatuhi hukuman mati dengan cara meminum racun hemlock.
Detik-Detik Terakhir: Ketika Kematian Tidak Ditakuti
Socrates menghabiskan hari-hari terakhirnya berdialog dengan murid-muridnya. Ia tidak menunjukkan ketakutan sedikit pun terhadap kematian. Ia meyakini bahwa kematian hanyalah perpindahan jiwa menuju tempat yang lebih baik, atau setidaknya, kedamaian abadi.
Pada hari eksekusi, Socrates meminum racun itu dengan tenang. Ia menenangkan sahabat-sahabatnya yang menangis, lalu merebahkan diri saat tubuhnya mulai dingin. Kata-kata terakhirnya kepada Crito, muridnya, bahkan bernada ringan: “Crito, kita berutang seekor ayam jantan kepada Asklepios. Jangan lupa membayarnya.”
Ayam jantan itu adalah persembahan untuk dewa penyembuh—seolah Socrates mengatakan bahwa kematian telah menyembuhkannya dari penderitaan dunia.
Pelajaran dari Persidangan Socrates
Persidangan Socrates adalah pengingat tragis bahwa masyarakat kadang takut pada pemikiran bebas. Bahkan di negara yang disebut demokratis seperti Athena kala itu, seseorang bisa dihukum mati hanya karena mengajak orang berpikir.
Namun, Socrates juga membuktikan bahwa kekuatan sejati tidak datang dari senjata atau posisi, melainkan dari keteguhan hati dan integritas. Ia tidak hanya mati sebagai korban, tetapi sebagai martir filsafat.
Dari kisah ini, kita belajar pentingnya mempertahankan kebenaran, bahkan saat dunia menolaknya. Kita juga diingatkan untuk tidak takut bertanya, tidak takut berpikir, dan tidak takut berbeda.
Relevansi di Zaman Modern
Hari ini, banyak pemikir, jurnalis, aktivis, dan warga biasa di berbagai belahan dunia masih menghadapi tekanan karena bersuara. Kebebasan berpikir dan berpendapat tetap menjadi isu penting. Socrates menunjukkan bahwa berpikir tidak selalu nyaman, tetapi sangat perlu.
Di dunia media sosial yang penuh opini cepat, pendekatan Socratic—bertanya, berdialog, dan merenung—menjadi semakin penting. Daripada cepat menghakimi, lebih baik kita belajar memahami.
Penutup: Kebenaran Tidak Mati
Socrates mati, tetapi gagasannya hidup selamanya. Ia mungkin kalah dalam pengadilan Athena, tapi menang dalam pengadilan sejarah. Dunia terus mengenangnya sebagai simbol keberanian berpikir dan ketulusan dalam mencari kebenaran.
Dalam setiap diskusi yang jujur, dalam setiap kelas filsafat, dalam setiap hati yang ingin hidup bermakna—nama Socrates akan terus bergaung. Ia telah membuktikan bahwa tubuh bisa dihancurkan, tapi kebenaran tidak bisa dibungkam.