Merenung tentang Kematian: Kunci Hidup Bermakna Menurut Massimo Pigliucci
- Cuplikan layar
Malang, WISATA — Dalam hiruk pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan dipenuhi dengan upaya menghindari ketidaknyamanan, satu topik tetap menjadi hal yang paling dihindari oleh banyak orang: kematian. Namun bagi filsuf modern dan tokoh Stoik kontemporer Massimo Pigliucci, merenung tentang kematian bukanlah hal yang suram, melainkan salah satu praktik paling penting untuk menemukan kedamaian batin dan makna hidup sejati.
Dalam karya populernya, How to Be a Stoic, Pigliucci menekankan bahwa kematian adalah realitas tak terhindarkan yang, jika direnungkan dengan bijak, justru dapat mengarahkan kita pada kehidupan yang lebih sadar, penuh makna, dan tidak disia-siakan.
Kematian Bukan Tabu, Melainkan Pengingat
Filsafat Stoik mengajarkan bahwa merenungkan kematian (praemeditatio mortis) adalah bagian dari latihan spiritual harian. Bagi Pigliucci, ini bukanlah obsesi akan akhir hidup, melainkan cara untuk menghargai kehidupan itu sendiri. “Ketika kita menyadari bahwa waktu kita terbatas, kita akan lebih berhati-hati dalam bagaimana kita menggunakannya,” ujarnya dalam beberapa kesempatan kuliah dan wawancara.
Ia menambahkan bahwa menghindari pemikiran tentang kematian justru membuat kita hidup dalam ilusi keabadian, sehingga kita menunda hal-hal penting, menyesali masa lalu, dan mengkhawatirkan masa depan yang belum tentu datang.
Warisan dari Marcus Aurelius dan Epictetus
Pigliucci menghidupkan kembali ajaran para Stoik kuno seperti Marcus Aurelius dan Epictetus. Marcus dalam Meditations menulis, “Engkau bisa mati kapan saja. Biarkan hal ini menentukan pikiran, perkataan, dan tindakanmu.” Sementara Epictetus menyarankan untuk hidup seakan-akan setiap hari adalah hari terakhir.