Satu Sama Lain: Pelajaran Kemanusiaan dari Marcus Aurelius untuk Membangun Toleransi dan Kolaborasi

Marcus Aurelius
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA — “Semua manusia diciptakan satu untuk yang lain: maka, ajarilah mereka jika mereka salah, atau bersabarlah terhadap mereka.” Kutipan penuh makna ini berasal dari Marcus Aurelius, kaisar Romawi sekaligus filsuf Stoik yang karya-karyanya terus menginspirasi hingga hari ini. Kata-katanya mengandung pelajaran berharga yang sangat relevan dalam kehidupan sosial, politik, dan teknologi zaman sekarang: kita semua saling terhubung, dan karenanya, kita hanya memiliki dua pilihan—mendidik atau menerima.

Ubah Cara Pikir, Ubah Hidup: Pelajaran Stoik Donald Robertson tentang Emosi dan Pikiran

Kehidupan modern dipenuhi perbedaan—pendapat, budaya, nilai, dan cara pandang. Namun, dalam perbedaan itu pula terkandung peluang kolaborasi dan pertumbuhan. Menyadari bahwa kita “diciptakan satu untuk yang lain” bukan hanya pernyataan moral; ini adalah panggilan untuk membangun masyarakat yang inklusif, saling belajar, dan saling memahami.

Makna Filosofis: Sebuah Panduan Hidup Bersama

Emosi Bukan Musuh: Pelajaran dari Donald Robertson tentang Cara Mengelolanya dengan Bijak

Marcus Aurelius meyakini bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Karena itu, interaksi dan kerja sama adalah bagian esensial dari eksistensi kita. Tetapi kenyataannya, kita sering berhadapan dengan orang yang berpikir berbeda, bersikap menjengkelkan, bahkan menyakiti kita.

Bagaimana kita merespons mereka?

Bukan Reaksi, tapi Respons Kita yang Menentukan Hidup – Pelajaran Stoik dari Donald Robertson

Stoisisme memberikan dua jawaban yang sederhana namun tegas: jika bisa, ajari mereka. Jika tidak bisa, bersabarlah. Jangan meracuni hidup kita dengan kebencian atau kemarahan. Jangan berharap dunia dan orang lain akan berubah demi kita. Tapi kita bisa menjadi teladan, memberi pengaruh lewat tindakan dan sikap kita.

Bayangkan jika prinsip ini diterapkan di media sosial, dunia kerja, bahkan politik nasional. Alih-alih saling menghujat, kita berusaha memahami dan mendidik. Dan jika edukasi tidak berhasil? Kita memilih bersabar dan menjaga integritas.

Pentingnya Mendidik daripada Menghakimi

Mendidik bukan berarti merasa lebih pintar atau merendahkan orang lain. Dalam konteks ini, mendidik berarti berbagi pemahaman, menunjukkan jalan yang lebih baik dengan cara yang membangun. Dunia kita saat ini membutuhkan lebih banyak pendidik sosial daripada pengkritik destruktif.

Contoh nyata bisa ditemukan dalam berbagai bidang—dari teknologi hingga pemerintahan. Seorang inovator yang melihat masyarakat belum siap menerima perubahan digital tidak menyalahkan mereka, tetapi justru mengedukasi dengan pendekatan empati. Begitu pula seorang pemimpin yang bijak tidak menghukum bawahan karena belum paham, tetapi membantu mereka berkembang.

Namun, tentu saja tidak semua orang akan menerima pelajaran dengan terbuka. Di sinilah pilihan kedua Marcus menjadi penting: bersabarlah. Sadarilah bahwa tidak semua bisa langsung berubah. Tidak semua orang punya akses, kesiapan, atau kesadaran yang sama.

Tantangan di Era Digital: Polarisasi dan Intoleransi

Kutipan Marcus terasa sangat relevan di zaman sekarang, ketika masyarakat digital kian terpecah. Polarisasi pendapat di media sosial, perang komentar, cancel culture—semuanya memperlihatkan bahwa kita cepat sekali menghakimi dan lambat memahami.

Dalam kondisi seperti itu, kita ditantang untuk tidak menjadi bagian dari kebisingan. Kita diminta untuk tetap tenang, seperti yang diajarkan Stoisisme. Arahkan energi kita untuk menjadi contoh, bukan penghakim. Dan ketika kita bertemu orang yang keras kepala atau bahkan menyebarkan kebencian, kita bisa memilih diam dan tidak larut.

Ini bukan sikap pasif. Ini adalah bentuk kekuatan batin: tidak membiarkan orang lain mengendalikan emosi dan tindakan kita.

Relevansi dalam Inovasi dan Kolaborasi

Dalam dunia teknologi, kolaborasi menjadi kunci. Proyek besar tidak mungkin diselesaikan seorang diri. Namun kerja tim juga menantang, apalagi ketika anggotanya berasal dari latar belakang dan perspektif yang berbeda.

Semangat "satu untuk yang lain" berarti kita membangun ekosistem yang saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Ketika satu orang tertinggal, kita bantu. Ketika ada kesalahpahaman, kita luruskan. Dan ketika perbedaan tidak bisa disatukan, kita belajar hidup berdampingan.

Filosofi ini sangat cocok diterapkan dalam agenda besar Indonesia: transformasi digital, pengembangan AI, manufaktur pintar, dan ekonomi inklusif. Semua itu hanya bisa dicapai jika kita membangun jembatan, bukan tembok.

Filsafat Marcus dalam Kehidupan Sehari-Hari

Ajaran Marcus bukan hanya untuk pemimpin atau inovator, tetapi untuk kita semua. Dalam rumah tangga, tempat kerja, komunitas, bahkan jalanan—kita akan selalu berinteraksi dengan orang lain. Setiap interaksi adalah kesempatan untuk memperkuat kemanusiaan kita.

Misalnya, saat bertemu pengendara yang sembrono, alih-alih marah, kita bisa memilih untuk memahami bahwa mungkin ia sedang tergesa-gesa karena alasan penting. Atau ketika melihat komentar pedas di internet, kita bisa memilih untuk tidak membalas, atau bahkan menjawab dengan kasih.

Dengan pendekatan ini, hidup menjadi lebih ringan. Kita tidak terus-menerus terseret oleh kebencian atau kemarahan. Kita hidup dengan integritas, seperti yang diajarkan Marcus: menjadi manusia seutuhnya yang tidak dikendalikan oleh luar, tetapi dipandu oleh kebijaksanaan dari dalam.

Kesimpulan: Jalan Bijak Menuju Perubahan

“Semua manusia diciptakan satu untuk yang lain.” Ini adalah pengingat bahwa kita tidak hidup sendiri. Kita punya tanggung jawab terhadap orang lain, dan hubungan itu bisa menjadi sumber kekuatan jika dikelola dengan bijak.

Ajaran Marcus bukan sekadar nasihat tua dari abad ke-2. Ia adalah kompas moral yang tetap relevan, bahkan semakin penting di tengah zaman yang penuh gangguan dan perpecahan. Maka hari ini, kita diingatkan untuk membuat pilihan bijak: ajari jika bisa, sabarlah jika tidak. Dunia akan jadi tempat yang jauh lebih baik jika kita mulai dari sana.