Albert Camus: “When the Soul Suffers Too Much, It Develops a Taste for Misfortune”
- Cuplikan layar
"When the soul suffers too much, it develops a taste for misfortune."
– Albert Camus
Jakarta, WISATA - Apa yang terjadi ketika jiwa manusia terlalu sering disakiti? Mengapa ada orang yang tampak “terbiasa menderita,” bahkan seolah mulai mencari atau menikmati penderitaan itu sendiri? Albert Camus, filsuf Prancis yang dikenal karena pemikirannya tentang absurditas dan eksistensi manusia, memberikan pandangan yang tajam dan mengejutkan: jiwa yang terlalu sering menderita bisa mengembangkan rasa suka terhadap kemalangan.
Pernyataan Camus ini membuka ruang diskusi yang dalam. Tidak hanya soal rasa sakit dan penderitaan, tetapi juga bagaimana manusia — dengan segala kerentanannya — bisa terperangkap dalam pola rasa sakit yang berulang, dan pada titik tertentu, menemukan kenyamanan aneh dalam penderitaan itu sendiri.
Penderitaan sebagai Kebiasaan
Ketika seseorang menghadapi penderitaan terus-menerus, jiwa akan mencari cara bertahan. Dalam psikologi, ini disebut sebagai mekanisme adaptasi. Namun, terkadang mekanisme ini berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks: rasa familiar terhadap penderitaan.
Penderitaan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan itu membuat seseorang merasa “aman” di dalam rasa sakit. Mereka tahu bagaimana rasanya dikhianati, ditinggalkan, gagal, atau merasa tidak berharga — dan karena itu, mereka tahu bagaimana bertahan. Sebaliknya, ketika kebahagiaan datang, mereka justru gelisah. Mereka merasa asing terhadap kedamaian, bahkan curiga akan datangnya malapetaka baru. Inilah yang dimaksud Camus dengan jiwa yang "mengembangkan selera terhadap kemalangan".
Menikmati Derita, Bukan Karena Masokisme