Massimo Pigliucci: Memaafkan Bukan Berarti Menyetujui Kesalahan Orang Lain, Melainkan Membebaskan Diri dari Beban Dendam
- Cuplikan layar
Malang, WISATA – Dalam kehidupan sehari-hari, banyak dari kita menghadapi situasi di mana perasaan sakit hati atau dendam mengendap lama dalam jiwa. Namun, filsuf modern sekaligus praktisi Stoikisme, Massimo Pigliucci, memberikan perspektif penting yang mungkin mengubah cara pandang kita tentang memaafkan. Ia menegaskan, “Memaafkan bukan berarti menyetujui kesalahan orang lain, tetapi membebaskan diri kita dari beban dendam.”
Pernyataan ini membuka sebuah wawasan bahwa proses memaafkan sejatinya bukan soal membenarkan tindakan yang melukai, melainkan sebuah langkah penting untuk melepaskan diri dari beban emosi negatif yang justru merugikan diri sendiri.
Memaafkan sebagai Jalan Pembebasan Diri
Menurut Pigliucci, seringkali kita salah kaprah mengartikan memaafkan sebagai tanda kelemahan atau pengabaian kesalahan. Padahal, memaafkan adalah tindakan kuat yang membebaskan pikiran dan hati dari jeratan dendam yang dapat merusak kedamaian batin.
Dalam filsafat Stoik, kebahagiaan sejati tidak bergantung pada hal-hal eksternal, melainkan pada pengendalian diri dan sikap mental. Dengan memaafkan, kita mengembalikan kekuasaan atas emosi kita kepada diri sendiri, sehingga tidak terjerat dalam lingkaran negatif yang tak berujung.
Perbedaan Antara Memaafkan dan Menerima Kesalahan
Pigliucci menggarisbawahi pentingnya membedakan antara memaafkan dan menyetujui kesalahan. Memaafkan adalah pengakuan bahwa kesalahan itu memang ada, dan sekaligus melepaskan kemarahan yang terus-menerus menggerogoti jiwa.