Massimo Pigliucci: Memaafkan Bukan Berarti Menyetujui Kesalahan Orang Lain, Melainkan Membebaskan Diri dari Beban Dendam

Massimo Pigliucci
Sumber :
  • Cuplikan layar

Malang, WISATA – Dalam kehidupan sehari-hari, banyak dari kita menghadapi situasi di mana perasaan sakit hati atau dendam mengendap lama dalam jiwa. Namun, filsuf modern sekaligus praktisi Stoikisme, Massimo Pigliucci, memberikan perspektif penting yang mungkin mengubah cara pandang kita tentang memaafkan. Ia menegaskan, “Memaafkan bukan berarti menyetujui kesalahan orang lain, tetapi membebaskan diri kita dari beban dendam.”

Jules Evans: “Kebahagiaan Bukan Tentang Mengendalikan Dunia Luar, Melainkan Menguasai Dunia Batin Anda”

Pernyataan ini membuka sebuah wawasan bahwa proses memaafkan sejatinya bukan soal membenarkan tindakan yang melukai, melainkan sebuah langkah penting untuk melepaskan diri dari beban emosi negatif yang justru merugikan diri sendiri.

Memaafkan sebagai Jalan Pembebasan Diri

40 Kutipan Terbaik dari Jules Evans: Peneliti dan Pembicara Publik yang Menghidupkan Filsafat Stoik di Era Modern

Menurut Pigliucci, seringkali kita salah kaprah mengartikan memaafkan sebagai tanda kelemahan atau pengabaian kesalahan. Padahal, memaafkan adalah tindakan kuat yang membebaskan pikiran dan hati dari jeratan dendam yang dapat merusak kedamaian batin.

Dalam filsafat Stoik, kebahagiaan sejati tidak bergantung pada hal-hal eksternal, melainkan pada pengendalian diri dan sikap mental. Dengan memaafkan, kita mengembalikan kekuasaan atas emosi kita kepada diri sendiri, sehingga tidak terjerat dalam lingkaran negatif yang tak berujung.

Pierre Hadot: Lepas dari Ilusi Kepemilikan, Temukan Kebahagiaan Sejati dari Dalam Diri

Perbedaan Antara Memaafkan dan Menerima Kesalahan

Pigliucci menggarisbawahi pentingnya membedakan antara memaafkan dan menyetujui kesalahan. Memaafkan adalah pengakuan bahwa kesalahan itu memang ada, dan sekaligus melepaskan kemarahan yang terus-menerus menggerogoti jiwa.

Halaman Selanjutnya
img_title