Albert Camus: “When the Soul Suffers Too Much, It Develops a Taste for Misfortune”
- Cuplikan layar
Perlu digarisbawahi bahwa “menikmati kemalangan” di sini bukanlah masokisme dalam arti klinis. Ini lebih kepada kondisi eksistensial — sebuah keterikatan emosional terhadap rasa sakit yang lahir dari pengulangan dan keterbiasaan. Jiwa tidak benar-benar senang menderita, tetapi ia merasa lebih aman dalam penderitaan karena itu adalah satu-satunya dunia yang ia kenal.
Albert Camus sendiri, dalam karya-karyanya seperti The Plague dan The Myth of Sisyphus, sering mengangkat tokoh-tokoh yang berada dalam penderitaan yang tidak masuk akal. Mereka tidak menyerah, tetapi juga tidak berharap. Mereka memilih untuk bertahan, bahkan ketika harapan tampak mustahil. Camus mengajak kita untuk menghadapi realitas sebagaimana adanya, termasuk penderitaan, tanpa berpura-pura atau melarikan diri.
Ketika Trauma Membentuk Pandangan Hidup
Orang yang pernah mengalami trauma berat — kehilangan orang tercinta, kekerasan masa kecil, pengkhianatan, atau kemiskinan ekstrem — sering membentuk lensa khusus dalam memandang hidup. Mereka cenderung melihat hidup sebagai rangkaian ujian dan ancaman. Bahkan saat segalanya berjalan baik, mereka merasa itu hanya sementara. Dalam diam, mereka menunggu luka berikutnya.
Fenomena ini menciptakan semacam keterikatan terhadap penderitaan. Bukannya ingin menderita, tetapi mereka merasa lebih siap menghadapinya daripada menikmati kebahagiaan yang rentan dan bisa sirna kapan saja. Jiwa yang terlalu sering disakiti akhirnya merasa “lebih nyaman” di dalam kegelapan, bukan karena ia menyukai kegelapan, tetapi karena terang terasa terlalu silau dan mengancam.
Dunia yang Tak Ramah dan Jiwa yang Bertahan
Camus menempatkan manusia dalam dunia yang sunyi dan tak peduli. Dunia tidak menawarkan makna, tetapi manusia tetap mencarinya. Dalam pencarian itu, penderitaan menjadi bagian tak terhindarkan. Tapi Camus tidak menyarankan kita menyerah. Sebaliknya, ia menantang kita untuk tetap memilih hidup, meskipun hidup itu sendiri penuh luka.