Seneca: Takdir Menuntun yang Bersedia, Menyeret yang Enggan — Pelajaran Abadi Tentang Ketundukan dan Kehendak
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA — Filsuf Stoik Romawi, Lucius Annaeus Seneca, melalui tulisannya yang mendalam dan penuh refleksi, pernah mengatakan:
“The willing, Destiny guides them. The unwilling, Destiny drags them.”
“Takdir menuntun mereka yang bersedia. Takdir menyeret mereka yang enggan.”
Kutipan pendek ini menyimpan makna yang begitu dalam tentang hubungan manusia dengan nasib dan kehidupan. Dalam pandangan filsafat Stoik, takdir bukanlah sesuatu yang perlu dilawan, melainkan sesuatu yang harus dipahami dan diterima dengan kebijaksanaan. Orang bijak bukanlah dia yang mengeluh atas hidup, melainkan dia yang memahami jalan hidupnya dan berjalan bersamanya dengan penuh kesadaran.
Memahami Kutipan Seneca: Kehendak dan Ketundukan pada Takdir
Dalam Stoikisme, takdir (atau Fatum) dipandang sebagai tatanan alam semesta yang rasional dan teratur. Semua yang terjadi di dunia, termasuk hal-hal yang tidak kita sukai, merupakan bagian dari kehendak alam. Seneca menekankan bahwa manusia bisa memilih satu dari dua sikap: bersedia mengikuti alur kehidupan dengan kebijaksanaan, atau melawannya dengan sia-sia dan menderita.
Mengikuti takdir bukan berarti pasrah tanpa usaha. Justru Stoikisme menekankan usaha yang maksimal atas hal-hal yang berada dalam kendali kita—yakni pikiran, keputusan, dan sikap hati—dan berserah atas hal-hal yang berada di luar jangkauan kita, seperti cuaca, pendapat orang, ataupun peristiwa tak terduga.
Seneca menyampaikan bahwa mereka yang dengan sadar dan rela mengikuti arus kehidupan akan dituntun oleh takdir ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, mereka yang menolak dan terus melawan akan tetap dibawa ke arah yang sama, tetapi dengan penderitaan dan perasaan terseret.
Pelajaran dari Kehidupan Sehari-hari
Kita bisa melihat refleksi dari kutipan Seneca ini dalam banyak aspek kehidupan:
- Dalam dunia kerja, orang yang bersedia belajar dari kegagalan dan menerima kenyataan bahwa tidak semua proyek berjalan sempurna akan tumbuh lebih cepat dibanding mereka yang terus mengeluh dan menyalahkan keadaan.
- Dalam relasi pribadi, menerima kenyataan bahwa tidak semua hubungan bisa dipaksakan akan membuat seseorang lebih cepat menemukan ketenangan, dibanding mereka yang memaksakan kehendak dan akhirnya terluka lebih dalam.
- Dalam menghadapi kehilangan, mereka yang menerima duka dengan jiwa besar, alih-alih terus menolak kenyataan, biasanya lebih cepat pulih dan bisa kembali menata hidupnya.
Hubungan Antara Takdir dan Kebebasan
Mungkin muncul pertanyaan: jika semua sudah ditentukan oleh takdir, di manakah letak kebebasan manusia?
Stoikisme menjawab bahwa kebebasan manusia ada dalam wilayah pikirannya. Kita tidak bebas memilih nasib, tetapi kita bebas memilih bagaimana menanggapinya. Dalam hal ini, manusia tetap memiliki kehendak bebas. Seperti seorang pelaut yang tak bisa mengendalikan arah angin, tetapi bisa mengatur arah layar kapalnya.
Dengan bersedia bekerja sama dengan kehidupan, bukan melawannya, manusia bisa menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Seperti yang diajarkan Seneca, saat kita memilih untuk ‘dipandu’ takdir, kita tetap berjalan ke arah yang ditentukan, namun dengan kesadaran dan kedamaian. Tapi jika kita menolak, takdir tetap menyeret kita ke arah itu, hanya saja dengan penderitaan dan penolakan yang sia-sia.
Ajaran Stoikisme yang Relevan di Zaman Modern
Di tengah dunia modern yang penuh tekanan, ketidakpastian, dan perubahan cepat, ajaran Seneca menjadi semakin relevan. Banyak orang merasa kewalahan menghadapi beban hidup karena berharap semua bisa dikendalikan. Dalam dunia yang serba instan ini, manusia sering lupa bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuai keinginan.
Stoikisme mengajarkan untuk mengalihkan perhatian kita dari hal-hal eksternal ke dalam diri. Seorang Stoik modern adalah orang yang mampu tetap tenang saat dunia di sekitarnya kacau, karena ia tahu mana yang bisa ia kendalikan, dan mana yang tidak.
Mereka yang menerima ketidakpastian sebagai bagian dari hidup, justru menjadi pribadi yang tangguh, sabar, dan bijak. Sedangkan mereka yang selalu ingin mengendalikan segalanya akan mudah kecewa dan frustrasi.
Kesimpulan: Menjadi Manusia Bijak, Menjadi Manusia Siap Dituntun
Kutipan Seneca mengajarkan kita bahwa ketundukan terhadap takdir bukanlah kelemahan, melainkan bentuk tertinggi dari kebijaksanaan dan keberanian. Dengan bersedia dituntun oleh kehidupan, kita menunjukkan bahwa kita adalah manusia yang kuat, bukan karena kita melawan segalanya, tetapi karena kita tahu kapan harus melangkah, dan kapan harus menerima.
Hidup tidak akan selalu memberikan apa yang kita inginkan. Tapi dengan sikap mental yang tepat, kita bisa mengubah setiap peristiwa menjadi pelajaran, dan setiap kegagalan menjadi batu loncatan menuju kedewasaan. Saat kita berhenti melawan yang tak bisa diubah, kita mulai menemukan kedamaian sejati.
Sebagaimana kata Seneca, takdir akan tetap berjalan—pilihannya hanya satu: apakah kita akan dituntun, atau diseret.