Marcus Aurelius: Bahaya Kemarahan Lebih Berat dari Penyebabnya

Marcus Aurelius
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA - Dalam salah satu kutipan yang paling menggugah dari Marcus Aurelius, sang filsuf dan kaisar Romawi berkata, “How much more grievous are the consequences of anger than the causes of it.” Kalimat itu, jika diterjemahkan secara sederhana ke dalam bahasa Indonesia, berarti: “Betapa lebih berat akibat dari kemarahan dibanding penyebabnya.”

Tim Ferriss: Mengapa Stoikisme Relevan untuk Era Digital

Sebagai seorang tokoh utama dalam filsafat Stoik dan pemimpin besar Kekaisaran Romawi, Marcus Aurelius bukan hanya dikenal karena kebijaksanaannya dalam memimpin, tetapi juga karena kedalaman refleksinya dalam menjalani hidup. Ia bukan tipe penguasa yang tunduk pada amarah atau emosi sesaat. Justru sebaliknya, ia menekankan pentingnya pengendalian diri, kejernihan berpikir, dan kehidupan yang dijalani dengan kebajikan. Dan dalam konteks amarah, pesannya sangat jelas: marah bukan solusi, melainkan sumber masalah baru.

Mengapa Amarah Berbahaya?

Chrysippus: “Keberanian adalah Fondasi untuk Menghadapi Segala Rintangan; Tanpa Keberanian, Kebajikan Tidak Akan Tumbuh”

Amarah adalah reaksi alami manusia. Kita semua pernah merasakannya — saat disakiti, dikhianati, atau ketika sesuatu berjalan tidak sesuai harapan. Namun, Marcus Aurelius mengingatkan bahwa akibat dari ledakan emosi ini seringkali jauh lebih merusak daripada alasan yang memicunya.

Coba kita renungkan sejenak. Berapa banyak hubungan yang rusak karena kata-kata yang diucapkan dalam kemarahan? Berapa banyak keputusan yang disesali karena dibuat saat emosi memuncak? Dalam amarah, kita kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih. Dan dalam kondisi itulah, kita justru menciptakan kerusakan yang lebih besar daripada masalah awalnya.

Chrysippus: "Hidup adalah Rangkaian Sebab-Akibat; Pahamilah Bahwa Apa yang Terjadi, Terjadi Sesuai dengan Hukum Alam"

Ketika Pemimpin Bicara Soal Emosi

Bagi Marcus, filsafat bukan hanya teori atau perenungan semata. Ia menerapkannya dalam kehidupan nyata, bahkan saat ia memimpin salah satu kekaisaran terbesar dalam sejarah dunia. Bayangkan betapa mudahnya bagi seorang kaisar untuk menggunakan kekuasaan demi melampiaskan amarah. Tapi Marcus memilih jalan yang berbeda. Ia sadar bahwa seorang pemimpin sejati adalah mereka yang mampu mengendalikan diri di saat paling sulit.

Halaman Selanjutnya
img_title