Kisah Para Sufi: Syekh Siti Jenar dan Dialog Abadi tentang Kematian Ego

Perjalanan Sufi
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Riwayat menyebutkan bahwa Siti Jenar pernah berdebat dengan para Wali Songo dalam sebuah forum penting. Di sana, ia menyatakan bahwa Tuhan bukan di langit, bukan di kitab, tapi di dalam jiwa yang bersih. Pernyataannya mengguncang keyakinan para wali, karena dianggap menyimpang dari ajaran umum yang mereka dakwahkan.

Shams Tabrizi: “Diam Lebih Fasih dari Seribu Kata. Di Sanalah Kebenaran Bersuara.”

Dialog itu tidak hanya bersifat intelektual, tetapi eksistensial. Para wali menekankan pentingnya syariat untuk membentuk masyarakat Islami. Siti Jenar menekankan hakikat batin sebagai inti agama, bahkan jika itu berarti melewati jalan sunyi, sepi dari pujian dan status.

Akhir dari perdebatan itu, menurut beberapa versi, adalah hukuman mati terhadap Siti Jenar. Namun sebagian lain meyakini bahwa ia tidak benar-benar mati, melainkan sudah mati sebelumnya—karena egonya telah lenyap, dan ia telah hidup dalam keabadian Ilahi.

Shams Tabrizi: “Berani Mencintai Berarti Siap untuk Terluka, Karena Itulah Jalan Menuju Tuhan”

Ajakan untuk Membebaskan Diri

Apa sebenarnya yang ditawarkan Siti Jenar pada umat manusia? Jawabannya adalah: kebebasan spiritual. Ia tidak meminta orang meninggalkan agama, tetapi mengajaknya untuk melampaui batas-batas simbol dan masuk ke makna terdalamnya.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani: Layanilah Orang-Orang Miskin dengan Kasih Sayang, di Sana Engkau Sedang Melayani Tuhan

Ia mengingatkan bahwa agama bukan sekadar hukum dan ritual, tapi pengalaman langsung dengan Tuhan. Menurutnya, siapa pun yang benar-benar mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Maka ia mendorong masyarakat untuk membebaskan diri dari ketakutan sosial, dogma, dan bahkan dari identitas “aku”.

“Jika engkau masih mengatakan ‘aku’, maka Tuhan belum ada di situ,” demikian salah satu kutipan yang dinisbatkan kepadanya.

Halaman Selanjutnya
img_title