Marcus Aurelius: Bersyukurlah Atas Dirimu, Jangan Takut pada Kematian dan Jangan Merindukannya
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA — Dalam dunia yang terus bergerak cepat dan dipenuhi dengan ekspektasi yang seringkali tidak realistis, pesan dari filsuf sekaligus kaisar Romawi, Marcus Aurelius, kembali menjadi perenungan banyak orang:
"Be content with what you are, and wish not change; nor dread your last day, nor long for it."
Atau dalam terjemahan bebasnya, “Bersyukurlah atas dirimu, jangan berharap untuk berubah, jangan takut pada hari terakhirmu, dan jangan pula menginginkannya.”
Ucapan ini bukan sekadar nasihat bijak, melainkan sebuah prinsip hidup yang relevan di tengah tekanan sosial modern—di mana banyak individu merasa tidak cukup baik, tidak cukup sukses, dan terus-menerus ingin menjadi versi lain dari dirinya sendiri.
Menerima Diri, Bukan Menyerah
Banyak orang keliru memahami kutipan tersebut sebagai ajakan untuk pasrah atau tidak berkembang. Padahal, dalam konteks filsafat Stoik yang dianut Marcus Aurelius, maknanya jauh lebih dalam. Ia menekankan pentingnya menerima diri dengan penuh kesadaran dan syukur, tanpa terus-menerus mengejar ilusi kesempurnaan yang tak berujung.
“Marcus tidak melarang kita berkembang, tetapi mengajak kita untuk tidak membenci diri sendiri dalam prosesnya,” ujar Dimas Hardiyanto, M.Hum., dosen filsafat Universitas Gadjah Mada. Menurutnya, kutipan ini adalah pengingat bahwa ketenangan batin tidak datang dari pencapaian eksternal, tetapi dari penerimaan terhadap siapa diri kita saat ini.
Lebih lanjut, Dimas menjelaskan bahwa dalam Stoikisme, perubahan yang ideal adalah perubahan yang dimulai dari dalam—yakni perubahan cara pandang, bukan sekadar penampilan atau pencitraan. “Ketika seseorang mampu merasa cukup dengan dirinya, ia akan lebih stabil dan tenang dalam menghadapi tantangan hidup,” katanya.
Melawan Budaya Tak Pernah Puas
Dalam era media sosial, di mana setiap orang membagikan versi terbaik dirinya, tekanan untuk terus berubah dan ‘naik kelas’ menjadi sangat kuat. Banyak orang merasa tidak cukup kurus, tidak cukup kaya, tidak cukup sukses. Ini melahirkan budaya perbandingan yang membuat banyak jiwa lelah secara emosional.
“Filosofi Marcus Aurelius menjadi sangat relevan karena mengajarkan kita untuk keluar dari lingkaran setan itu,” ujar Sari Damayanti, seorang psikolog klinis di Jakarta. Menurutnya, menerima diri bukan berarti berhenti bermimpi, tetapi menyadari bahwa kita tidak perlu membenci diri sendiri untuk bertumbuh.
“Banyak klien saya yang mengalami kecemasan berlebihan karena merasa selalu tertinggal dari orang lain. Padahal jika mereka belajar bersyukur atas kemajuan kecil yang mereka raih, hidup akan jauh lebih damai,” kata Sari.
Tentang Kematian: Jangan Ditakuti, Jangan Diharapkan
Bagian kedua dari kutipan Marcus Aurelius berbicara tentang sikap terhadap kematian. Ia menyarankan agar kita tidak takut akan hari terakhir, tetapi juga tidak merindukannya. Ini adalah bentuk keseimbangan emosional yang menjadi dasar dari ajaran Stoik: hidup sepenuhnya tanpa menjadi budak ketakutan atau keputusasaan.
“Kematian adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Tapi menghabiskan waktu dengan rasa takut akan kematian hanya akan mencuri kebahagiaan dari hari ini,” ujar Yosua Adi, penggiat komunitas Stoik Indonesia.
Ia mengatakan bahwa Stoikisme mengajarkan kita untuk mengingat kematian (memento mori) bukan untuk menjadi muram, tetapi untuk menghargai hidup dengan lebih dalam. “Saat kita tidak takut mati, kita akan hidup dengan lebih berani dan jujur,” tegasnya.
Sebaliknya, kerinduan akan kematian, terutama dalam konteks keputusasaan, adalah hal yang juga harus dihindari. Marcus mengingatkan bahwa kehidupan tetap memiliki nilai dan makna, bahkan ketika terasa sulit. “Bersyukurlah atas napas yang masih ada, dan isi dengan tindakan yang bernilai,” tambah Yosua.
Relevansi Bagi Generasi Modern
Generasi muda saat ini menghadapi tekanan besar dari lingkungan sekitar, baik dalam hal karier, penampilan, hingga status sosial. Ajakan Marcus Aurelius untuk bersyukur atas diri sendiri menjadi penawar yang menenangkan di tengah badai tuntutan tersebut.
“Generasi Z dan milenial kerap dibanjiri standar kesuksesan yang semu. Padahal, standar itu seringkali tidak realistis dan justru membuat mereka cemas,” ujar Alya Rahman, pembicara publik dalam bidang kesehatan mental.
Alya menyarankan agar kita semua mulai menginternalisasi nilai-nilai seperti penerimaan diri, ketenangan, dan kesadaran akan waktu yang terbatas. “Hidup bukan lomba. Setiap orang punya garis waktu dan prosesnya masing-masing,” ujarnya.
Latihan Harian: Mempraktikkan Ajaran Marcus
Agar pesan Marcus Aurelius tidak sekadar menjadi kutipan di media sosial, banyak komunitas pengembangan diri kini mulai mempraktikkan latihan harian Stoik, seperti jurnal syukur, refleksi sebelum tidur, dan meditasi tentang kematian.
Salah satu kegiatan yang populer adalah menulis tiga hal yang disyukuri setiap hari. Latihan ini sederhana tetapi sangat efektif untuk melatih pikiran agar fokus pada apa yang sudah dimiliki, bukan yang belum tercapai.
“Ketika seseorang membiasakan diri menghargai hal kecil, maka beban hidup terasa lebih ringan. Ia tak lagi tergoda untuk terus mengejar sesuatu yang belum tentu membuatnya bahagia,” ungkap Dimas.
Penutup: Damai dengan Diri, Damai Menjalani Hidup
Pesan Marcus Aurelius ini bukan sekadar nasihat filosofis dari masa lalu, melainkan pelita untuk hidup di zaman modern. Bersyukur atas siapa diri kita saat ini, menerima kenyataan bahwa kematian adalah bagian dari hidup, dan tidak terobsesi untuk mengubah diri hanya demi validasi eksternal—semuanya adalah kunci menuju kebahagiaan yang sejati.
Dengan hidup dalam kesadaran penuh, kita dapat menemukan damai yang tidak tergantung pada dunia luar. Dan seperti yang diingatkan Marcus, hari terakhir tidak perlu ditakuti atau dirindukan, karena yang terpenting adalah bagaimana kita hidup hari ini—dengan keutuhan, ketenangan, dan rasa syukur.