Socrates: “Orang yang Berpikir Dia Tahu Segalanya Sebenarnya Paling Tidak Tahu” — Peringatan Keras bagi Era Digital
- Cuplikan layar
Fenomena ini menjadi semakin parah ketika orang menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Dalam konteks inilah kutipan Socrates menjadi sangat penting. Masyarakat butuh kembali pada kesadaran bahwa memahami adalah proses panjang, dan merasa tahu segalanya justru menghambat proses itu.
Pendidikan dan Bahaya “Merasa Tahu”
Dalam dunia pendidikan, siswa yang merasa sudah paham sering kali menolak belajar lebih jauh. Begitu pula dalam profesi, karyawan atau pemimpin yang merasa paling tahu akan sulit menerima masukan atau gagasan baru. Inilah jebakan intelektual yang membuat individu stagnan dan lembaga sulit berkembang.
Metode Socratic—yang mengedepankan pertanyaan, diskusi, dan eksplorasi pemikiran—menjadi solusi untuk membentuk budaya belajar yang sehat. Guru dan pemimpin idealnya bukan penyampai kebenaran mutlak, melainkan fasilitator yang membantu orang lain berpikir dan menemukan jawabannya sendiri.
Kesombongan Intelektual di Media Sosial
Media sosial kini menjadi tempat banyak orang menyuarakan opininya. Namun, sering kali perdebatan berubah menjadi ajang saling menjatuhkan karena masing-masing pihak merasa paling benar. Jarang ada yang dengan rendah hati berkata, “Saya belum tahu, tolong jelaskan.”
Sikap Socratic yang mengutamakan ketidaktahuan sebagai titik awal pengetahuan dapat menjadi kunci untuk meredam konflik-konflik digital. Jika lebih banyak orang bersedia mengakui keterbatasannya, diskusi daring akan menjadi lebih sehat, inklusif, dan produktif.