Plato dan Konsistensi Filosofis: Dialog sebagai Cermin Gagasan yang Berkembang

Plato Bersama Muridnya di Akademi Plato
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Plato, filsuf besar dari Yunani Kuno, dikenal bukan hanya karena kedalaman pemikirannya, tetapi juga karena cara uniknya menyampaikan gagasan melalui dialog-dialog dramatik. Di balik format percakapan yang tampak sederhana, tersembunyi strategi penulisan yang kompleks dan konsisten dalam mengembangkan serta menyampaikan doktrin filsafatnya.

Socrates: “Hanya Ada Satu Kebaikan, yaitu Pengetahuan, dan Satu Kejahatan, yaitu Kebodohan”

Salah satu aspek penting dalam studi serius atas karya-karya Plato adalah pengakuan akan keterkaitan antar dialog yang ia tulis. Tidak cukup hanya membaca satu karya secara terpisah; untuk benar-benar memahami alur pemikiran Plato, pembaca harus mengikuti jejak-jejak konseptual yang tersebar di seluruh karya-karyanya.

Dialog yang Saling Mengacu

Mengetahui Bahwa Kita Tidak Tahu: Makna Sejati dari Pengetahuan Menurut Socrates

Meskipun banyak dari karya Plato memulai percakapan dengan latar dan tokoh yang tampaknya baru, seringkali terdapat rujukan-rujukan eksplisit atau implisit terhadap dialog lain yang sudah atau akan ditulis. Contohnya dapat dilihat dalam Phaedo, di mana Socrates menyampaikan bahwa salah satu argumen untuk membuktikan keabadian jiwa adalah dari fakta bahwa ketika seseorang diberikan pertanyaan tertentu dan dibantu dengan diagram, jawaban mereka mencerminkan pengetahuan yang tidak didapatkan dari luar, melainkan dari dalam diri mereka sendiri.

Pernyataan ini akan sangat sulit dipahami tanpa terlebih dahulu membaca Meno, di mana Plato pertama kali memperkenalkan gagasan “anamnesis” atau pengingatan kembali—sebuah teori bahwa jiwa sudah memiliki pengetahuan bawaan sebelum lahir. Lebih lanjut, dalam Phaedo bagian 75d, Socrates menyatakan bahwa argumen mengenai pengetahuan awal tentang “kesetaraan itu sendiri” juga berlaku untuk bentuk-bentuk ideal lain seperti keindahan, kebaikan, keadilan, dan kesalehan. Ini menunjukkan bahwa Plato mengharapkan pembacanya telah akrab dengan jenis percakapan serupa dalam Euthyphro, Laches, Charmides, dan Hippias Major, di mana Socrates bertanya: “Apakah X itu?”

Pendidikan Berbayar dan Dampaknya: Refleksi dari Pemikiran Socrates

Hubungan Serial dan Keterkaitan Ide

Plato tidak hanya mengandalkan rujukan silang antar tema, tetapi juga menciptakan urutan kronologis dalam beberapa dialognya. Dalam Theaetetus, Sophist, dan Statesman, terdapat isyarat bahwa ketiganya merupakan kelanjutan dari satu percakapan panjang. Begitu pula dalam Timaeus, yang membuka dengan merujuk pada Republic, memperlihatkan bahwa pembaca diharapkan mengenali kesinambungan dan perubahan dari konsep-konsep yang pernah dibahas sebelumnya.

Kesadaran Plato akan pentingnya kesinambungan ini menunjukkan bahwa ia tidak memulai dari nol dalam setiap tulisannya. Meski ia memperkenalkan ide-ide baru dan tantangan-tantangan segar, ia tetap mengharapkan pembacanya untuk membawa serta pemahaman dari diskusi-diskusi sebelumnya. Bahkan ketika tokoh-tokoh dalam dialog berganti, seperti Meno yang tidak muncul kembali dalam Phaedo, atau Timaeus yang tidak tampil dalam Republic, benang merah pemikiran tetap terjaga.

Konsistensi Pemikiran dan Tujuan Filsafati

Pertanyaan besar yang muncul adalah: mengapa Plato menyusun karyanya dengan struktur sedemikian rupa? Mengapa Socrates terus-menerus mempertahankan eksistensi “bentuk” (forms) dalam berbagai dialog? Dan mengapa saat peran utama berganti dari Socrates ke tokoh lain seperti sang “pengunjung dari Elea”, konsep dasar seperti bentuk dan jiwa tetap dipertahankan dan dibela?

Jawaban yang paling masuk akal adalah bahwa Plato tidak sekadar menciptakan dialog sebagai alat provokasi intelektual atau latihan retoris semata. Ia menggunakan karakter-karakter utamanya sebagai medium untuk menyampaikan dan membela suatu doktrin yang ia anggap benar dan penting. Ketika Socrates menyatakan bahwa bentuk-bentuk seperti keindahan, keadilan, dan kebaikan memiliki eksistensi independen, ia tidak sedang bermain-main dengan ide; ia sedang menyampaikan inti dari metafisika Platonik.

Begitu pula saat sang pengunjung dari Elea mengkritik pandangan metafisika yang menolak entitas nonjasmani seperti jiwa dan bentuk, ia sedang melanjutkan warisan argumen yang telah ditegakkan oleh Socrates. Kesamaan posisi ini menunjukkan bahwa keduanya adalah saluran dari pemikiran Plato sendiri. Bahkan, saat tokoh-tokohnya berbeda, posisi filosofis mereka tetap memiliki konsistensi.

Plato Sebagai Penulis dan Filsuf

Dengan demikian, untuk memahami karya Plato tidak cukup hanya mengamati karakter dan dialog mereka. Kita juga harus berani menafsirkan maksud dan keyakinan pribadi sang penulis. Meski Plato tidak pernah berbicara langsung dalam tulisannya, melalui pengulangan argumen, kesinambungan tokoh, dan struktur intertekstual antar dialog, ia secara tidak langsung menyampaikan sikap dan pemikirannya.

Pemahaman mendalam atas karya Plato menuntut kita untuk membaca secara luas dan menyeluruh, menyambungkan potongan-potongan argumen yang tersebar dalam Euthyphro, Meno, Phaedo, Republic, Theaetetus, dan lainnya. Dalam hal ini, Plato tampak tidak hanya sebagai penyusun drama filsafat, tetapi sebagai penggagas sistem pemikiran yang terus berkembang—mengarahkan pembacanya dari satu dialog ke dialog lain untuk mendalami dan pada akhirnya, menerima pemikiran yang ia anggap benar.