Seneca: Menjadi Sahabat bagi Diri Sendiri Adalah Langkah Pertama Menuju Kebijaksanaan dan Kedamaian Hidup
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA — Dalam perenungannya yang mendalam tentang kehidupan dan kebijaksanaan, filsuf Stoik terkenal dari Roma Kuno, Lucius Annaeus Seneca, menulis, “Aku telah belajar untuk menjadi sahabat bagi diriku sendiri. Ini adalah peningkatan besar, sungguh. Orang semacam ini tidak pernah benar-benar sendirian, karena ketahuilah bahwa siapa yang bersahabat dengan dirinya sendiri adalah sahabat bagi seluruh umat manusia.”
Kutipan tersebut menyimpan makna filosofis yang sangat relevan bagi dunia modern yang penuh tekanan, persaingan, dan kecenderungan untuk mencari validasi eksternal. Banyak orang menjalani hari-hari mereka dengan kekosongan batin, karena belum belajar mencintai dan menerima diri sendiri. Seneca mengingatkan bahwa langkah awal untuk mencapai kedamaian hidup dan hubungan yang sehat dengan orang lain adalah dengan menjalin hubungan yang tulus dengan diri sendiri.
Persahabatan dengan diri sendiri bukanlah bentuk keegoisan atau narsisme. Sebaliknya, itu adalah fondasi dari keseimbangan mental dan spiritual. Ketika seseorang mampu menerima kelemahan, mengapresiasi kelebihan, dan memaafkan kegagalan dirinya, maka ia telah membuka jalan bagi kebijaksanaan sejati. Ia tak lagi menggantungkan kebahagiaan pada pengakuan orang lain atau pencapaian luar, melainkan pada pemahaman mendalam terhadap jati dirinya.
Seneca dengan bijak mengajarkan bahwa orang yang telah menjadi sahabat bagi dirinya sendiri tidak akan pernah benar-benar merasa kesepian. Ia tidak tergantung pada kehadiran fisik orang lain untuk merasakan kebersamaan, karena di dalam dirinya sendiri, telah tumbuh hubungan yang utuh dan damai. Inilah bentuk kemandirian emosional yang menjadi ciri khas para Stoik: menerima hidup apa adanya, mencintai diri sebagaimana adanya, dan menjalani hari-hari dengan penuh kesadaran.
Lebih jauh, Seneca menegaskan bahwa orang yang mencintai dirinya dengan tulus juga akan lebih mampu mencintai orang lain secara sehat. Sebab, hanya mereka yang tidak lagi menyimpan dendam terhadap dirinya sendiri yang sanggup memberikan kasih yang jujur kepada sesama. Ia menjadi cermin kebaikan yang bisa memancar kepada siapa pun di sekitarnya. Dalam istilah modern, ini bisa disebut sebagai empati yang lahir dari rekonsiliasi batin.
Psikologi kontemporer pun membenarkan filosofi Seneca ini. Konsep “self-compassion” atau belas kasih terhadap diri sendiri, yang banyak digali oleh para psikolog seperti Dr. Kristin Neff, menunjukkan bahwa orang yang memperlakukan dirinya dengan kasih sayang akan lebih tahan terhadap stres, memiliki hubungan sosial yang lebih baik, dan secara umum merasa lebih bahagia dalam hidup. Ini membuktikan bahwa kebijaksanaan kuno Seneca tidak hanya bersifat teoritis, melainkan juga sangat aplikatif untuk kehidupan modern.
Seneca juga ingin menyadarkan kita bahwa kesendirian tidak selalu berarti kesepian. Ada perbedaan antara sendiri secara fisik dan merasa sepi secara emosional. Orang yang sudah berteman dengan dirinya sendiri akan menikmati kesendirian sebagai waktu refleksi dan penguatan batin, bukan sebagai hukuman atau kesengsaraan.