Inilah Alasan Mengapa Penderita Demensia Menjadi Semakin Agresif terhadap Orang-orang di Sekitarnya
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Demensia bukan hanya tentang lupa. Bagi banyak orang, penyakit ini membawa dampak emosional dan perilaku yang sangat kompleks. Salah satu perubahan yang sering mengejutkan keluarga atau pengasuh adalah munculnya perilaku agresif dari penderita demensia, baik secara verbal maupun fisik. Perilaku ini tidak jarang menimbulkan tekanan psikologis, rasa frustrasi, bahkan rasa bersalah pada orang-orang terdekatnya.
Namun, penting untuk dipahami bahwa agresivitas bukanlah cerminan dari kepribadian asli penderita demensia. Justru, itu merupakan bagian dari gejala penyakit yang menyerang kemampuan berpikir, mengingat, dan memahami lingkungan sekitar. Mengapa perilaku agresif ini bisa muncul? Berikut penjelasan lengkapnya.
1. Gangguan pada Fungsi Otak
Demensia menyerang bagian-bagian otak yang mengatur emosi, perilaku sosial, dan kemampuan untuk mengendalikan dorongan. Ketika bagian otak seperti lobus frontal dan amigdala terganggu, penderita kesulitan mengekspresikan emosi dengan cara yang wajar.
Akibatnya, frustrasi yang seharusnya disampaikan dengan kata-kata dapat muncul dalam bentuk tindakan agresif, seperti membentak, melempar benda, atau bahkan menyerang secara fisik. Perilaku ini bukan karena mereka “jahat”, tetapi karena otaknya tidak mampu memproses atau menyalurkan emosi secara normal.
2. Kebingungan dan Ketidakpahaman Situasi
Penderita demensia sering kali tidak memahami situasi atau orang-orang di sekitarnya. Mereka bisa lupa siapa anaknya, di mana mereka berada, atau mengapa seseorang mencoba membantu mereka mandi atau mengganti pakaian. Hal ini menciptakan rasa takut dan ancaman yang tidak nyata bagi mereka.
Sebagai respons dari rasa takut ini, mereka mungkin menjadi agresif untuk mempertahankan diri dari ancaman yang sebenarnya tidak ada. Misalnya, ketika seorang perawat mencoba membantu mengganti pakaian, penderita bisa merasa diserang dan melawan karena merasa dipaksa atau dilecehkan.
3. Kesulitan Berkomunikasi
Ketika kemampuan berbahasa menurun, penderita demensia kesulitan untuk menyampaikan rasa sakit, lapar, atau emosi lainnya. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan kebutuhan membuat mereka frustrasi, yang pada akhirnya meledak dalam bentuk amarah.
Misalnya, jika seseorang tidak bisa menyampaikan bahwa mereka haus, dan permintaan sederhana itu tidak terpenuhi, maka emosi bisa meluap. Mereka bisa menjadi marah dan mengekspresikannya dengan teriakan atau tindakan kasar.
4. Kondisi Medis yang Tidak Teridentifikasi
Nyeri kronis, infeksi, sembelit, atau efek samping obat bisa memperburuk kondisi emosional penderita demensia. Karena mereka tidak dapat menjelaskan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang dialami, mereka mungkin merespons dengan kemarahan atau kekerasan.
Misalnya, infeksi saluran kemih sering kali menyebabkan perubahan perilaku yang drastis pada lansia dengan demensia, termasuk agresivitas mendadak. Dalam banyak kasus, ketika penyebab medis diobati, perilaku agresif pun mereda.
5. Perubahan Lingkungan yang Tidak Dikenal
Lingkungan baru atau perubahan rutinitas yang mendadak bisa membuat penderita demensia merasa terguncang. Mereka merasa kehilangan kendali atas dunia di sekitar mereka. Perubahan tempat tidur, wajah-wajah baru, suara yang keras, atau pencahayaan yang terlalu terang dapat menjadi pemicu kecemasan dan agresivitas.
Oleh karena itu, konsistensi dalam rutinitas dan lingkungan sangat penting. Penderita demensia merasa lebih nyaman dalam lingkungan yang familiar, tenang, dan terstruktur.
6. Respons terhadap Perlakuan Orang Lain
Kadang-kadang, tanpa sadar, keluarga atau pengasuh bisa bersikap terburu-buru, tidak sabar, atau memperlakukan penderita seperti anak kecil. Hal ini bisa membuat penderita merasa dipermalukan atau tidak dihargai, dan mereka merespons dengan marah.
Memberikan instruksi yang terlalu cepat atau mengatur penderita tanpa menjelaskan terlebih dahulu bisa memicu penolakan dan kemarahan. Oleh karena itu, penting untuk berbicara dengan tenang, lembut, dan memberi waktu kepada penderita untuk merespons.
7. Stres Emosional yang Tidak Terucapkan
Perasaan tidak berguna, kehilangan kemandirian, atau kesepian sering kali menghantui penderita demensia. Mereka mungkin tidak dapat mengungkapkan kesedihan ini secara verbal, dan akhirnya mengekspresikannya dengan cara yang lebih destruktif.
Agresivitas, dalam hal ini, adalah bentuk komunikasi yang tidak langsung dari rasa kehilangan jati diri dan ketidakberdayaan mereka. Pemahaman dan empati dari keluarga menjadi kunci utama dalam menenangkan emosi penderita.
Cara Menghadapi Penderita Demensia yang Agresif
Menghadapi agresivitas bukan perkara mudah, tetapi ada strategi yang bisa dilakukan untuk meredam situasi:
- Tetap tenang dan tidak bereaksi dengan kekerasan.
- Berikan ruang dan waktu jika mereka marah.
- Gunakan nada suara yang lembut dan bahasa tubuh yang tidak mengancam.
- Alihkan perhatian mereka ke aktivitas yang menenangkan.
- Identifikasi pemicu dan cobalah menghindarinya di masa mendatang.
- Libatkan tenaga medis untuk mencari penyebab medis yang mungkin.
Kapan Harus Mencari Bantuan Profesional?
Jika perilaku agresif menjadi semakin sering dan membahayakan keselamatan orang lain maupun dirinya sendiri, penting untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis saraf, psikolog, atau psikiater. Pengobatan medis dan terapi perilaku dapat membantu mengelola agresivitas.
Agresivitas pada penderita demensia bukan karena mereka berubah menjadi “orang jahat”. Sebaliknya, itu adalah cerminan dari penyakit yang mengganggu kemampuan mereka dalam memahami, merasakan, dan berkomunikasi. Dengan pemahaman yang lebih baik, empati, dan strategi yang tepat, orang-orang terdekat bisa membantu menciptakan lingkungan yang aman dan penuh kasih bagi penderita demensia.