Dari Marcus Aurelius ke Ryan Holiday: Bagaimana Stoikisme Bertahan dan Bertransformasi di Era Modern
- Cuplikan Layar Youtube
Jakarta, WISATA - Di tengah dunia yang semakin cepat, penuh tekanan, dan serba tak pasti, semakin banyak orang mencari cara untuk menemukan ketenangan dan makna hidup. Beberapa orang mencoba meditasi, ada yang beralih ke psikologi positif, sementara yang lain menggali kembali kebijaksanaan dari masa lalu. Salah satu ajaran yang kembali populer adalah Stoikisme, sebuah filsafat kuno yang sudah berusia lebih dari dua ribu tahun tetapi tetap relevan hingga sekarang.
Nama Marcus Aurelius mungkin tidak asing bagi banyak orang. Kaisar Romawi ini dikenal bukan hanya sebagai pemimpin yang bijak, tetapi juga sebagai seorang filsuf Stoik yang meninggalkan warisan pemikiran dalam bukunya yang terkenal, Meditations. Di dalamnya, ia menuliskan refleksi pribadinya tentang kehidupan, kebijaksanaan, dan bagaimana menghadapi tantangan dengan tenang.
Namun, bagaimana Stoikisme bisa bertahan selama ribuan tahun? Bagaimana filsafat yang lahir di zaman Romawi ini bisa tetap relevan di era modern? Jawabannya terletak pada bagaimana ajaran ini bertransformasi dan disampaikan kembali oleh tokoh-tokoh seperti Ryan Holiday, seorang penulis dan pemikir kontemporer yang telah memperkenalkan Stoikisme kepada jutaan orang di seluruh dunia.
Marcus Aurelius dan Inti dari Stoikisme
Marcus Aurelius adalah salah satu pemikir Stoik yang paling dikenal. Sebagai kaisar, ia menghadapi berbagai tantangan besar, dari perang hingga wabah penyakit. Namun, dalam setiap kesulitan, ia tetap berpegang teguh pada prinsip Stoikisme: menerima hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan dan berfokus pada apa yang bisa kita lakukan.
Salah satu kutipan terkenal dari Meditations adalah, “Apa yang menghalangi jalan menjadi jalan itu sendiri.” Ini adalah gagasan dasar dalam Stoikisme: hambatan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi justru bagian dari proses yang harus kita hadapi untuk berkembang.
Marcus Aurelius juga mengajarkan pentingnya disiplin diri, ketenangan dalam menghadapi cobaan, serta sikap tidak terikat pada hal-hal eksternal seperti pujian atau hinaan. Prinsip-prinsip ini membentuk dasar Stoikisme yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.