Aristoteles dan Al-Ghazali: Pemikiran yang Bertemu di Persimpangan Filsafat dan Spiritualitas
- Image Creator Bing/Handoko
Jakarta, WISATA - Dalam sejarah filsafat, jarang ditemukan dua tokoh besar dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda tetapi memiliki titik temu yang begitu mendalam. Aristoteles, filsuf Yunani Kuno, dan Al-Ghazali, teolog dan filsuf Islam abad ke-11, adalah dua nama besar yang menjadi ikon pemikiran dunia. Meski terpisah oleh waktu dan tradisi, pemikiran mereka bertemu di persimpangan filsafat dan spiritualitas, memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana hidup manusia harus dijalani.
Pandangan Aristoteles tentang Kehidupan dan Kebajikan
Aristoteles memandang manusia sebagai "makhluk rasional" yang tujuan akhirnya adalah mencapai kebahagiaan melalui kebajikan. Dalam Nicomachean Ethics, ia menegaskan pentingnya rasionalitas sebagai pedoman utama dalam menjalani kehidupan. Aristoteles juga membahas pentingnya keseimbangan, yang disebutnya sebagai "jalan tengah" (golden mean), dalam menghadapi berbagai dilema moral.
Bagi Aristoteles, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang diperoleh secara instan, melainkan hasil dari praktik kebajikan yang konsisten. Hal ini membuat filsafatnya tetap relevan hingga kini sebagai panduan dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Al-Ghazali: Sang Pembaru Filsafat Islam
Di sisi lain, Al-Ghazali, yang dikenal sebagai Hujjatul Islam, adalah seorang teolog, filsuf, dan sufi yang berhasil menjembatani dunia filsafat dan spiritualitas Islam. Dalam karyanya yang terkenal, Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), Al-Ghazali menekankan pentingnya penyucian jiwa dan pengendalian hawa nafsu untuk mencapai kebahagiaan sejati.
Al-Ghazali awalnya mengkritik filsafat Yunani, termasuk pemikiran Aristoteles, dalam Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Namun, setelah mendalami tradisi sufi, ia mulai melihat nilai dari filsafat sebagai alat untuk memahami hakikat kehidupan, asalkan digunakan sesuai dengan ajaran agama.