Etika Kebajikan Menurut Aristoteles dan Ibnu Sina: Panduan untuk Hidup Bahagia dan Bermakna

Aristoteles dan Ibnu Sina (ilustrasi)
Sumber :
  • Image Creator Bing/Handoko

Malang, WISATA - Kebahagiaan selalu menjadi tujuan universal manusia sepanjang sejarah. Dari masa Yunani Kuno hingga era kejayaan Islam, para pemikir besar telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar: apa yang membuat hidup manusia bahagia dan bermakna? Dua tokoh utama, Aristoteles dari Yunani dan Ibnu Sina dari dunia Islam, memberikan kontribusi besar dalam menjelaskan konsep kebajikan sebagai inti dari kehidupan yang bermakna. Pandangan mereka tentang etika kebajikan tetap relevan, bahkan di era modern ini.

Dari Aristoteles ke Ibnu Sina: Mengapa Filsafat Masih Penting di Zaman Modern?

Pandangan Aristoteles tentang Etika Kebajikan

Aristoteles, melalui karyanya Nicomachean Ethics, menekankan bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) adalah tujuan akhir dari kehidupan manusia. Menurutnya, kebahagiaan tidak ditemukan dalam kenikmatan materi atau penghargaan eksternal, tetapi dalam praktik kebajikan. Ia membagi kebajikan menjadi dua jenis utama: kebajikan intelektual (seperti kebijaksanaan) dan kebajikan moral (seperti keberanian dan keadilan).

Filosofi Stoicisme Zeno dari Citium: Jalan Menuju Kebahagiaan Sejati

Aristoteles mengajarkan bahwa kebajikan moral harus dipraktikkan secara konsisten melalui kebiasaan. Hidup yang bermakna, menurutnya, adalah kehidupan yang dijalani sesuai dengan rasionalitas manusia dan didasarkan pada keseimbangan, yang ia sebut "jalan tengah" (golden mean).

Ibnu Sina dan Integrasi Kebajikan dengan Spiritualitas

Dari Citium ke Stoa Poikile: Perjalanan Hidup Zeno dan Lahirnya Stoicisme

Ibnu Sina, yang dikenal sebagai Avicenna di dunia Barat, mengambil banyak inspirasi dari Aristoteles tetapi menambahkan dimensi spiritual yang lebih dalam. Dalam filsafatnya, Ibnu Sina menyatukan kebajikan moral dan intelektual dengan ajaran Islam. Menurutnya, kebahagiaan sejati tidak hanya melibatkan kebajikan duniawi tetapi juga hubungan dengan Tuhan.

Ibnu Sina percaya bahwa kebajikan adalah sarana untuk mencapai jiwa yang sempurna dan harmonis. Dalam karyanya seperti Kitab al-Najat dan Kitab al-Shifa, ia menjelaskan bahwa kebajikan manusiawi harus dipadukan dengan kesadaran spiritual untuk mencapai kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.

Halaman Selanjutnya
img_title