Socrates: Filsuf yang Berpikir di Tengah Krisis Athena
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Socrates adalah salah satu tokoh filsuf terbesar dalam sejarah peradaban manusia. Ketenarannya tidak hanya didasarkan pada ajarannya yang mendalam dan penuh kebijaksanaan, tetapi juga pada konteks sejarah yang melingkupinya. Socrates hidup pada masa krisis besar di Athena, yang pernah menjadi negara kota terkaya dan terkuat di dunia.
Kejatuhan Athena
Pada suatu ketika, Athena, yang dikenal sebagai pusat peradaban dan kekuatan militer, mengalami kekalahan dari saingannya, Sparta, setelah perang panjang yang melelahkan. Kekalahan ini menandai dimulainya era baru dalam sejarah Athena, yakni era "Tiga Puluh Tiran." Junta brutal ini dipasang oleh Sparta pada tahun 404 SM dan berkuasa dengan tangan besi. Namun, kekuasaan mereka tidak bertahan lama. Melalui satu pemberontakan, junta tersebut digulingkan, dan demokrasi pun kembali ke Athena. Meskipun demikian, Athena sebagai negara adidaya kuno sudah terlalu lelah dan mengalami kemunduran yang sulit dibalikkan.
Socrates dan Era Krisis
Socrates hidup di tengah-tengah kekacauan politik dan sosial ini. Antara akhir pemerintahan Tiga Puluh Tiran dan kematiannya pada tahun 399 SM, Socrates terus aktif dalam berbagi pemikiran filosofisnya. Keberadaan Socrates pada masa ini dianggap sebagai gangguan oleh pihak berwenang. Pemikirannya yang mendalam sering kali menantang status quo dan mengekspos kekurangan dalam pemerintahan dan masyarakat saat itu.
Socrates mengajarkan pentingnya evaluasi diri dan pencarian kebenaran. Salah satu kutipan terkenalnya adalah, "An unexamined life is not worth living" atau "Hidup yang tidak diperiksa tidak layak dijalani." Socrates percaya bahwa tujuan hidup manusia adalah menemukan kehidupan yang baik melalui pencarian kebenaran dan kebajikan. Dalam pandangannya, kebenaran, kebajikan, keunggulan, dan keadilan benar-benar ada dan dapat ditemukan oleh manusia melalui pemikiran kritis dan refleksi diri.
Konsep Relativisme Sophis