Mengenal Stoikisme Lewat Lensa Tim Ferriss: Filosofi Hidup Sederhana dan Tangguh
- Cuplikan layar
Malang, WISATA – Stoikisme, sebuah filosofi kuno dari Yunani dan Romawi, tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan pencari kehidupan yang lebih bermakna. Melalui karya-karya dan pengalamannya, Tim Ferriss menunjukkan bahwa Stoikisme bukan sekadar teori, melainkan panduan hidup praktis untuk menghadapi tantangan modern.
Dalam buku-buku laris seperti The 4‑Hour Workweek, Tools of Titans, dan Tribe of Mentors, Ferriss sering mengutip ajaran Seneca, Marcus Aurelius, dan Epictetus. Dia tidak hanya menjelaskan prinsip-prinsip Stoik, tetapi juga menerapkannya secara konsisten—mulai dari penanganan stres, pengambilan keputusan, hingga pola hidup sederhana namun berdampak besar.
Stoikisme mengajarkan tentang kendali diri, penerimaan terhadap hal-hal di luar kendali, serta fokus pada hal-hal yang benar-benar penting. Tim Ferriss mempraktikkan nilai-nilai ini melalui teknik seperti negative visualization—melatih diri membayangkan kemungkinan terburuk untuk meningkatkan ketenangan mental.
Ferriss juga memperkenalkan metode voluntary discomfort, yakni secara sadar menjalani ketidaknyamanan—seperti mandi air dingin, puasa, atau tidur dengan sederhana—untuk melatih ketangguhan batin. Praktik ini membuat ia lebih tahan dalam menghadapi tekanan, serta lebih bersyukur pada kenyamanan sehari-hari.
Konsep fear‑setting yang ia populerkan juga merupakan adaptasi Stoik. Teknik ini melibatkan penulisan rincian ketakutan paling mendalam, yang kemudian membuat semua tampak lebih konkret dan bisa diatasi. Pendekatan ini membantu Ferriss mengambil keputusan besar, seperti memulai gaya hidup digital nomad atau meninggalkan pekerjaan lama.
Di jantung ajaran Stoik pun terdapat prinsip sederhana: tidak perlu memiliki banyak hal, tetapi habiskan energi untuk hal-hal yang benar-benar bernilai. Ferriss meyakini bahwa produktivitas sebenarnya bukan soal jam kerja panjang, melainkan hasil signifikan dari waktu dan energi yang difokuskan.
Misalnya, ia menggunakan aturan Pareto (80/20) untuk menentukan dua aktivitas utama yang memberi dampak 80 persen. Ia juga menyederhanakan hidup dengan menghapus komitmen yang tidak relevan dan menciptakan sistem otomatis untuk pekerjaan yang berulang.