Paulo Freire: Dialog adalah Cinta, Kerendahan Hati, dan Harapan

"Pedagogy of the Oppressed" – Paulo Freire
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA - Dalam dunia yang semakin keras, cepat, dan penuh suara yang saling bersaing, Paulo Freire, filsuf pendidikan asal Brasil, mengingatkan kita pada makna terdalam dari dialog. Dalam satu kutipan yang menggugah, Freire mengatakan:

René Descartes: Bapak Filsafat Modern yang Mengubah Cara Dunia Berpikir

“Dialog bukan hanya tentang berbicara dan mendengarkan, tetapi tentang cinta, kerendahan hati, dan harapan.”

Kutipan ini bukan sekadar kalimat indah. Ia adalah pijakan filosofis yang sangat dalam tentang bagaimana manusia bisa saling memahami dan membebaskan diri melalui komunikasi yang bermakna. Bagi Freire, dialog adalah inti dari pendidikan yang membebaskan. Namun lebih dari itu, dialog adalah jantung dari relasi kemanusiaan itu sendiri.

Socrates dan Pendidikan: Bukan Sekadar Transfer Ilmu, Tapi Membentuk Jiwa

Dialog yang Lebih dari Sekadar Kata

Dalam konteks umum, dialog sering dimaknai sebagai aktivitas berbicara dan mendengarkan. Namun bagi Freire, itu belum cukup. Dialog yang sejati bukan sekadar tukar-menukar kalimat. Dialog yang sejati adalah pertemuan dua kesadaran yang saling menghargai, saling menyayangi, dan saling ingin membangun dunia yang lebih baik.

Socrates: Filsuf Pertama yang Mati karena Berpikir Bebas?

Dialog, dalam pandangan Freire, mengandung unsur cinta. Cinta dalam arti keikhlasan untuk benar-benar hadir dan mendengarkan, bukan hanya menunggu giliran berbicara. Cinta yang melihat manusia lain sebagai subjek yang utuh, bukan objek yang bisa dibentuk sesuka hati.

Kerendahan Hati: Kunci dari Dialog Sejati

Salah satu elemen penting dalam dialog menurut Freire adalah kerendahan hati. Tanpa kerendahan hati, tidak mungkin ada dialog. Mengapa? Karena dialog menuntut kesediaan untuk menerima bahwa kita bisa saja salah, bahwa orang lain juga memiliki kebenaran dari perspektifnya sendiri.

Dalam pendidikan, seorang guru yang rendah hati tidak merasa dirinya superior atas muridnya. Ia membuka ruang diskusi dan pertukaran pikiran. Ia tidak mendikte, melainkan membimbing. Guru dan murid sama-sama belajar, sama-sama tumbuh, dan sama-sama menjadi manusia yang utuh.

Begitu pula dalam kehidupan sosial dan politik. Dialog antarkelompok yang berbeda tidak akan mungkin terjadi jika masing-masing merasa paling benar dan enggan mendengar. Hanya dengan kerendahan hatilah kita bisa melihat bahwa dunia tidak hanya hitam-putih, dan setiap suara layak didengar.

Harapan yang Tidak Pernah Padam

Elemen ketiga dalam dialog menurut Freire adalah harapan. Dialog bukan hanya soal sekarang, tetapi juga tentang masa depan. Ia mengandung keyakinan bahwa melalui pertemuan ide, kita bisa membangun perubahan. Bahwa dunia ini bisa diperbaiki, bukan melalui kekerasan, melainkan melalui pemahaman dan kerja sama.

Freire menulis buku Pedagogy of the Oppressed bukan untuk menawarkan teori kosong, tetapi untuk menyalakan harapan. Bahwa kaum tertindas tidak harus selamanya dalam posisi itu. Melalui pendidikan dan dialog yang bermakna, perubahan sosial bisa dimulai—pelan, tapi pasti.

Relevansi di Dunia Pendidikan Indonesia

Kutipan ini sangat relevan dengan realitas pendidikan di Indonesia. Dalam banyak ruang kelas, dialog masih dimaknai sebagai tanya-jawab searah. Guru masih dominan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, sementara siswa hanya penerima pasif.

Hal ini menciptakan suasana belajar yang kaku dan menakutkan. Banyak siswa tidak berani bertanya atau mengemukakan pendapat karena takut dianggap melawan. Padahal, semangat dialog adalah dasar dari pendidikan kritis. Ketika guru dan murid bisa berdialog secara sejajar, terciptalah ruang belajar yang sehat dan membebaskan.

Demikian juga dalam konteks masyarakat. Indonesia sebagai negara yang kaya akan perbedaan suku, agama, dan budaya sangat membutuhkan ruang-ruang dialog yang sehat. Jika kita tidak belajar berdialog dengan cinta, kerendahan hati, dan harapan, maka yang terjadi adalah konflik, kecurigaan, dan perpecahan.

Dialog sebagai Gerakan Sosial

Freire tidak hanya berbicara dalam konteks ruang kelas. Ia memandang dialog sebagai bagian dari gerakan sosial. Dalam perjuangan masyarakat tertindas, dialog menjadi sarana untuk membangun kesadaran kolektif. Dialog menjadi alat untuk menyusun strategi perubahan. Dialog menjadi jembatan antara mimpi dan kenyataan.

Di berbagai pelosok dunia, pendekatan Freire digunakan dalam gerakan pendidikan rakyat. Di Brazil, dialog digunakan untuk mengajar orang dewasa membaca dan menulis sambil membahas isu-isu sosial. Di Afrika Selatan, pendekatan serupa digunakan dalam pendidikan pasca-apartheid. Di Indonesia, semangat ini bisa diadopsi dalam program pemberdayaan masyarakat desa, pendidikan literasi, hingga advokasi sosial.

Tantangan dalam Mewujudkan Dialog Sejati

Meski terdengar ideal, dialog yang sejati bukan hal yang mudah diwujudkan. Banyak tantangan yang menghadang. Salah satunya adalah budaya otoriter yang masih mengakar. Dalam budaya ini, suara anak muda sering disepelekan, kritik dianggap ancaman, dan pertanyaan dianggap pembangkangan.

Tantangan lainnya adalah ego. Banyak orang merasa sudah paling tahu, sehingga menutup telinga terhadap perspektif lain. Padahal, seperti kata Freire, “Tak ada yang tahu segalanya, tak ada pula yang tidak tahu apa-apa. Kita semua tahu sesuatu, dan dari sanalah kita bisa saling belajar.”

Mengatasi tantangan-tantangan ini butuh keberanian. Keberanian untuk membuka diri, mengakui kelemahan, dan membangun ruang-ruang diskusi yang aman dan saling menghormati.

Dialog adalah Jalan Pembebasan

Bagi Freire, dialog bukan sekadar metode, melainkan etos hidup. Ia adalah cara kita memandang orang lain sebagai sesama manusia. Ia adalah jalan menuju pembebasan, baik pembebasan individu maupun pembebasan kolektif.

Freire percaya bahwa hanya melalui dialoglah manusia bisa benar-benar menjadi manusia. Bukan melalui monolog, bukan melalui propaganda, bukan melalui dominasi.

Dalam dunia yang semakin keras dan penuh polarisasi, kutipan ini adalah pengingat bahwa masih ada jalan yang lebih manusiawi. Jalan yang tidak selalu cepat, tetapi penuh makna. Jalan yang tidak merendahkan, tetapi mengangkat martabat. Jalan itu adalah dialog.

Penutup: Belajar dari Kata-kata Freire

“Dialog bukan hanya tentang berbicara dan mendengarkan, tetapi tentang cinta, kerendahan hati, dan harapan.”

Kalimat ini adalah undangan bagi kita semua—guru, orang tua, siswa, aktivis, pemimpin, dan warga biasa—untuk membangun cara berkomunikasi yang lebih bermakna. Untuk melihat percakapan bukan hanya sebagai pertukaran informasi, tetapi sebagai proses kemanusiaan yang saling membangun.

Mari kita mulai dari hal-hal kecil: mendengarkan dengan sungguh-sungguh, tidak langsung menghakimi, membuka ruang bagi perbedaan, dan percaya bahwa lewat dialog, perubahan bisa terjadi.