Pelaku Usaha Spa Desak Pemerintah Revisi UU Hubungan Keuangan Pusat-Daerah
- Handoko/istimewa
Pelaku Usaha Spa Desak Pemerintah Revisi UU Hubungan Keuangan Pusat-Daerah
Jakarta, WISATA - Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Hubungan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) menjadi sorotan pelaku usaha spa. Kelompok yang tergabung dalam Wellness and Healthcare Entrepreneur Association (WHEA), Indonesia Wellness Master Association (IWMA), dan Indonesia Wellness Spa Professional Association (IWSPA) menilai UU tersebut memiliki dampak negatif terutama bagi industri spa.
Dorongan revisi muncul atas beberapa pertimbangan mendasar. Pertama, adanya tumpang tindih aturan dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 2010 tentang Kepariwisataan. Pasal 50 dan Pasal 55 UU HKPD mengelompokkan jasa spa ke dalam kategori kesenian dan hiburan, yang bertentangan dengan klasifikasi Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Namun, UU Pariwisata menetapkan bahwa spa bukan bagian dari kegiatan hiburan atau rekreasi.
Kedua, kelompok ini menegaskan bahwa jasa spa lebih tepat dikategorikan secara terpisah dari usaha hiburan atau rekreasi sesuai dengan definisi spa sebagai perawatan kesehatan. Spa juga diakui sebagai bagian dari wellness dengan tujuan mencakup promosi dan pencegahan kesehatan. Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan, yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2023, memasukkan spa sebagai terapi dengan karakteristik khusus.
Pihak pelaku usaha mengimbau pemerintah untuk segera meninjau kembali pengelompokan spa sebagai bisnis hiburan. Mereka mengkhawatirkan bahwa hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam kegiatan usaha di Indonesia jika tidak segera diatasi.
Terakhir, pelaku usaha spa menekankan bahwa spa wellness bukanlah hiburan, melainkan komoditas kesehatan. Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keberagaman suku bangsa, spa wellness dianggap sebagai aspek serumpun budaya yang fokus pada kesehatan dan kebugaran yang saat ini dikenal sebagai etnaprana.