Syekh Abdul Qadir al-Jailani: “Jadilah seperti bumi: rendah hati namun menopang semua kehidupan.”
- Image Creator Bing/Handoko
Begitu pula, manusia diajak untuk menjadi pribadi yang lapang dada, tidak mudah tersinggung, dan mampu memaafkan. Tidak mencari pujian atau pengakuan, tetapi terus memberikan manfaat. Dalam konteks kehidupan modern, sikap seperti ini menjadi semakin langka, namun justru sangat dibutuhkan.
Rendah Hati Bukan Berarti Lemah
Banyak yang keliru menganggap rendah hati sebagai tanda kelemahan atau ketidakberdayaan. Padahal, justru sebaliknya. Orang yang rendah hati adalah mereka yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Mereka tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun karena merasa cukup dan damai dengan dirinya.
Kerendahan hati adalah kekuatan. Ia memampukan seseorang untuk belajar dari siapa saja, termasuk dari orang yang lebih muda atau yang dianggap “di bawah.” Ia menjadikan seseorang peka terhadap penderitaan orang lain dan menjauhkan diri dari sifat sombong, angkuh, dan merendahkan.
Keteladanan di Tengah Masyarakat yang Kompetitif
Dalam masyarakat yang kompetitif, di mana persaingan begitu ketat dan gengsi menjadi ukuran status, nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani seperti oase di tengah padang pasir. Dunia kerja, misalnya, sering mendorong seseorang untuk “menonjol” agar diakui. Namun terlalu banyak menonjol sering kali justru membuat seseorang jatuh.
Orang yang rendah hati cenderung lebih disukai, lebih dipercaya, dan lebih mudah membangun kerja sama. Mereka fokus pada tujuan bersama, bukan pada ego pribadi. Dalam jangka panjang, kerendahan hati justru menjadi modal sosial yang kuat, yang membangun reputasi dan kepercayaan.