Kisah Para Sufi: Shams Tabrizi, Sufi Misterius yang Membakar Jalan Rumi ke Surga Cinta

Tarian Sufi (ilustrasi)
Sumber :
  • unsplash

Jakarta, WISATA - Dalam sejarah tasawuf, jarang ada nama yang seunik dan semisterius Shams Tabrizi. Ia bukan hanya dikenal sebagai guru spiritual Jalaluddin Rumi, tetapi juga sebagai sosok yang mengguncang dunia batin penyair besar tersebut. Shams bukanlah sufi biasa; kehadirannya bagaikan api yang membakar kabut ego dan membawa jiwa-jiwa menuju penyatuan dengan Sang Kekasih Sejati—Tuhan. Kisahnya penuh teka-teki, namun jejaknya abadi dalam puisi-puisi Rumi yang mengguncang langit pencinta.

Kisah Para Sufi: Najmuddin Kubra, Sang Martir Cinta dalam Serangan Mongol

Pertemuan Dua Lautan Jiwa

Shams ad-Din Muhammad ibn Ali ibn Malikdad Tabrizi lahir di kota Tabriz, Persia (kini Iran), sekitar abad ke-12. Ia adalah pengembara spiritual, pencari kebenaran sejati, yang tidak tertarik pada formalitas ataupun gelar. Dalam pengembaraannya, ia tiba di Konya (Turki) dan bertemu Jalaluddin Rumi, seorang ulama besar, pengajar fiqih dan tafsir yang dihormati banyak orang.

Kisah Para Sufi: Ruzbihan Baqli, Sufi yang Menulis dengan Air Mata dan Cinta Mendalam

Namun pertemuan mereka bukan sekadar kebetulan. Dalam catatan sejarah sufisme, perjumpaan itu digambarkan sebagai takdir dua jiwa yang saling mencari. Ketika Shams mengajukan pertanyaan mendalam kepada Rumi, "Siapakah yang lebih agung: Nabi Muhammad atau Bayazid al-Busthami?" Rumi terguncang. Bukan karena meragukan keagungan Nabi, tetapi karena menyadari bahwa ilmu formalnya belum menyentuh dimensi cinta ilahi yang Shams pancarkan.

Cinta yang Mengubah Segalanya

Kisah Para Sufi, Al-Hujwiri: Penulis Kitab Sufi Pertama dalam Bahasa Persia yang Menggetarkan Hati

Sejak saat itu, Rumi berubah drastis. Ia meninggalkan rutinitas keulamaan yang formal dan tenggelam dalam dialog batin bersama Shams. Mereka berbincang siang dan malam, berdansa dalam cinta, dan meneguk anggur ilahi dalam bentuk puisi dan zikr. Murid-murid Rumi pun cemburu, merasa tersisih. Ketika Shams tiba-tiba menghilang, Rumi dilanda duka. Dari kehilangan itulah lahir ribuan bait puisi yang menggetarkan dunia.

Puisi-puisi Rumi yang paling dalam lahir dari kobaran cinta dan kehilangan akan Shams. Dalam banyak syairnya, Rumi menyebut Shams sebagai matahari hatinya. Bukan hanya sebagai guru, tetapi sebagai cermin tempat ia melihat wajah Tuhan.

Misteri Kehilangan dan Keabadian

Kehilangan Shams Tabrizi masih menjadi misteri hingga kini. Ada yang mengatakan ia dibunuh oleh murid-murid Rumi yang cemburu, ada pula yang percaya ia pergi sendiri untuk menguji cinta sang murid. Namun, dalam tradisi sufi, Shams tidak pernah benar-benar pergi. Ia hidup dalam setiap bait puisi, dalam setiap putaran tarian sema, dalam setiap rindu yang menyala pada Tuhan.

Shams mengajarkan bahwa cinta adalah jalan tercepat menuju Tuhan. Ia menghancurkan sekat-sekat antara agama, doktrin, dan ego. Ia menyalakan api cinta dalam jiwa Rumi, yang pada gilirannya membakar jiwa jutaan manusia setelahnya.

Warisan yang Menembus Zaman

Warisan Shams bukan berupa kitab atau tarekat, melainkan pengaruh mendalam terhadap Rumi, yang menghasilkan karya-karya monumental seperti Diwan-e Shams-e Tabrizi dan Masnawi. Tanpa Shams, mungkin dunia tidak mengenal Rumi sebagai penyair cinta ilahi.

Lebih dari itu, Shams adalah perwujudan dari semangat sufi sejati: berani, liar, penuh cinta, dan bebas dari kungkungan dunia. Ia mengajarkan bahwa Tuhan bisa ditemukan dalam pelukan cinta yang total, bukan dalam hafalan atau retorika. Bahwa keheningan dan kegilaan spiritual bisa lebih dekat kepada Tuhan dibanding debat panjang yang tanpa rasa.

Inspirasi Abadi untuk Zaman Modern

Di tengah zaman yang serba cepat dan materialistik ini, kisah Shams Tabrizi menjadi oase rohani. Ia mengajak manusia untuk merenung, mencintai, dan menyelam ke dalam kedalaman jiwa. Ia mengajarkan kita untuk membakar diri dengan api cinta hingga yang tersisa hanyalah cahaya Tuhan.

Shams tidak memberi kita jawaban; ia memberi pertanyaan yang menggugah. Ia tidak memberi aturan; ia mengajarkan penghayatan. Ia tidak membangun madrasah; ia membakar dinding-dinding pemisah dan menunjukkan bahwa dalam cinta sejati, semua adalah satu.

Penutup: Cinta yang Membakar Hingga Surga

Shams Tabrizi bukan hanya guru bagi Rumi, tetapi juga obor bagi siapa pun yang mencari Tuhan melalui cinta. Dalam jejaknya, kita melihat keberanian untuk hidup apa adanya, mencintai sepenuhnya, dan menempuh jalan yang jarang dilalui. Ia menunjukkan bahwa surga bukanlah tempat yang dicapai nanti, melainkan kondisi jiwa yang dicapai melalui cinta yang membakar habis segala selain Tuhan.

Maka jika engkau mencinta, cintailah dengan segenap jiwamu. Seperti Rumi mencintai Shams. Seperti Shams mencintai Tuhan.