Kisah Para Sufi: Mansur al-Hallaj, Ketika 'Ana al-Haqq' Menjadi Saksi Puncak Cinta kepada Tuhan
- Pixabay
Malang, WISATA - Dalam sejarah pemikiran Islam, nama Mansur al-Hallaj tidak pernah luput dari kontroversi. Ia adalah sosok sufi yang hidup pada abad ke-9 Masehi, dikenal karena pernyataannya yang mengguncang dunia keislaman: "Ana al-Haqq"—yang secara harfiah berarti "Akulah Kebenaran". Ungkapan ini menjadi simbol puncak ekstase spiritual sekaligus awal dari penderitaan panjang yang ia alami.
Namun, di balik kontroversi itu, terdapat kisah cinta yang mendalam antara manusia dan Tuhan. Cinta yang melampaui batas logika, melewati sekat-sekat formalitas syariat, dan menyentuh hakikat keberadaan itu sendiri.
Siapakah Mansur al-Hallaj?
Mansur al-Hallaj lahir di wilayah Persia sekitar tahun 858 M. Sejak kecil, ia telah menunjukkan kecenderungan pada kehidupan spiritual. Ia mempelajari Al-Qur’an, hadis, serta ilmu-ilmu syariat, sebelum akhirnya mendalami tasawuf bersama para tokoh sufi besar seperti Sahl al-Tustari dan Junaid al-Baghdadi.
Berbeda dari murid-murid tasawuf lainnya, al-Hallaj adalah sosok yang aktif menyebarkan pemikirannya ke masyarakat umum. Ia menulis, berdakwah, dan bahkan melakukan perjalanan dakwah ke India dan Asia Tengah. Ia tidak membatasi ajaran spiritual hanya di ruang-ruang zikir para murid, melainkan ingin menjadikan tasawuf sebagai jalan hidup umat manusia.
"Ana al-Haqq": Ekspresi Puncak Cinta Ilahiah
Pernyataan "Ana al-Haqq" merupakan puncak dari pengalaman mistik Mansur al-Hallaj. Dalam pandangan sufi, pengalaman fana (penghilangan diri dalam Tuhan) membawa seseorang pada keadaan spiritual di mana dirinya larut dalam kehadiran Ilahi. Dalam kondisi ini, tidak ada lagi dualitas antara hamba dan Tuhan.
Maka, ketika al-Hallaj berkata "Ana al-Haqq", ia tidak mengklaim dirinya sebagai Tuhan, melainkan menyatakan bahwa dirinya telah lebur dalam kebenaran mutlak, yaitu Tuhan itu sendiri. Sayangnya, pernyataan tersebut dipandang sebagai bentuk penghinaan oleh banyak ulama fikih saat itu. Ia dituduh menganut paham hulul (penyatuan Tuhan dan manusia), yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Pengadilan dan Eksekusi
Pada tahun 922 M, Mansur al-Hallaj dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Abbasiyah. Ia disalib dan kemudian tubuhnya dibakar, abu jenazahnya ditebar di Sungai Tigris. Sebuah akhir tragis dari perjalanan spiritual yang penuh cinta dan pengorbanan.
Namun, sebelum kematiannya, ia sempat mengucapkan kalimat yang menyentuh: “Apa yang dapat dilakukan oleh cinta, jika bukan menyerahkan segalanya?”
Kalimat tersebut menunjukkan bahwa apa yang dijalani al-Hallaj bukan sekadar pemberontakan terhadap doktrin agama, melainkan bentuk totalitas cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Ia rela mati demi keyakinan akan kehadiran Tuhan yang begitu dekat, begitu menyatu.
Makna Spiritual di Era Modern
Di tengah kehidupan modern yang serba materialistis dan transaksional, kisah Mansur al-Hallaj menjadi cermin yang menggugah. Ia mengingatkan kita bahwa cinta kepada Tuhan bukan sekadar ritual atau kewajiban, tetapi pengalaman batin yang menyatu dengan seluruh eksistensi kita.
Spirit "Ana al-Haqq" dapat dimaknai ulang sebagai ajakan untuk mencari kebenaran sejati dalam diri sendiri, dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam hubungan dengan sesama. Ia bukan hanya tentang ekstase spiritual, tetapi juga tentang keberanian untuk hidup autentik, meski itu berarti menanggung risiko sosial atau bahkan politik.
Resonansi dengan Tokoh-Tokoh Filsafat dan Sufi
Socrates, dalam filsafat Yunani, menyatakan bahwa kebijaksanaan sejati datang dari mengenal diri sendiri. Hal ini sejalan dengan prinsip sufistik untuk "ma’rifatullah" melalui perjalanan batin. Sedangkan Plato berbicara tentang dunia ide sebagai bentuk hakiki dari segala sesuatu. Dalam konteks tasawuf, hal ini mirip dengan ide tentang Tuhan sebagai hakikat sejati segala keberadaan.
Dengan demikian, ajaran al-Hallaj memiliki resonansi lintas budaya dan zaman. Ia tidak terbatas pada konteks keislaman semata, tetapi menyentuh akar-akar terdalam dari pencarian manusia terhadap makna dan kebenaran.
Warisan Abadi al-Hallaj
Mansur al-Hallaj memang telah tiada, namun gagasan dan semangatnya terus hidup. Karya-karyanya seperti Kitab al-Tawasin menjadi bahan kajian serius dalam literatur tasawuf. Banyak sufi besar setelahnya, seperti Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi, mengakui pengaruh al-Hallaj dalam perkembangan spiritualitas Islam.
Hari ini, namanya kembali dibicarakan, bukan untuk dikutuk, tapi untuk dipahami. Dunia modern yang diliputi keresahan dan alienasi, membutuhkan sosok-sosok seperti al-Hallaj yang mampu mengajarkan cinta sejati—cinta yang membebaskan, bukan membelenggu.
Penutup
Pernyataan “Ana al-Haqq” bukan sekadar kalimat kontroversial, melainkan ekspresi terdalam dari kerinduan seorang manusia kepada Tuhan. Mansur al-Hallaj telah memperlihatkan bahwa spiritualitas sejati membutuhkan keberanian untuk mencintai tanpa syarat, bahkan jika itu harus dibayar dengan nyawa.
Dalam dunia yang penuh kepalsuan dan topeng-topeng sosial, kisah al-Hallaj mengajak kita untuk kembali kepada diri yang sejati—diri yang penuh cinta, keberanian, dan ketulusan kepada Sang Kebenaran.