Kisah Para Sufi: Imam Junaid dan Jalan Sunyi Para Kekasih Tuhan
- Image Creator Grok/Handoko
Jakarta, WISATA — Dalam catatan sejarah Islam, nama Imam Junaid al-Baghdadi tak hanya tercatat sebagai tokoh ilmu tasawuf, tetapi juga sebagai pelopor jalan spiritual yang hening, dalam, dan penuh keseimbangan. Ia dijuluki sebagai “Sayyid at-Thaifah” atau pemimpin para sufi, karena pengaruhnya yang begitu besar dalam membentuk fondasi ajaran tasawuf yang lurus dan tidak keluar dari syariat.
Kisah hidup Imam Junaid seakan menjadi lentera yang menerangi jalan sunyi para pencinta Tuhan—mereka yang mencari bukan dunia, bukan pula surga, melainkan Wajah Allah semata. Ia bukan seorang penyair seperti Rumi, bukan pula seorang martir seperti Hallaj, namun kata-katanya tajam, ilmunya dalam, dan diamnya penuh makna.
Tumbuh di Baghdad, Dibesarkan dalam Keheningan
Imam Junaid dilahirkan di Baghdad pada awal abad ke-9 Masehi, di masa keemasan peradaban Islam. Ia tumbuh di tengah keluarga yang religius dan dekat dengan para ulama besar. Dari usia muda, Junaid sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam memahami ilmu fikih dan syariat. Ia berguru pada Imam Sari as-Saqati, yang tak lain adalah pamannya sendiri dan juga seorang tokoh sufi kenamaan.
Baghdad pada masa itu adalah pusat ilmu pengetahuan dan spiritualitas. Namun di tengah gemerlapnya ilmu rasional dan debat filsafat, Imam Junaid memilih jalan lain: jalan sunyi ke dalam kedalaman jiwa. Ia menyadari bahwa keindahan Islam tak hanya berada dalam hukum-hukum yang tertulis, tetapi juga dalam perjalanan batin menuju Tuhan.
Diamnya Lebih Lantang dari Seribu Ucapan
Salah satu ciri khas Imam Junaid adalah diam yang penuh makna. Ia bukan tipe ulama yang mudah berbicara soal makrifat atau pengalaman spiritual. Baginya, makrifat bukan untuk diumbar, melainkan untuk dijaga dalam dada. Ia pernah berkata, “Tuhan menempatkan rahasia-Nya dalam hati orang yang diam.”