Kisah Para Sufi: Mansur al-Hallaj, Ketika 'Ana al-Haqq' Menjadi Saksi Puncak Cinta kepada Tuhan
- Pixabay
Spirit "Ana al-Haqq" dapat dimaknai ulang sebagai ajakan untuk mencari kebenaran sejati dalam diri sendiri, dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam hubungan dengan sesama. Ia bukan hanya tentang ekstase spiritual, tetapi juga tentang keberanian untuk hidup autentik, meski itu berarti menanggung risiko sosial atau bahkan politik.
Resonansi dengan Tokoh-Tokoh Filsafat dan Sufi
Socrates, dalam filsafat Yunani, menyatakan bahwa kebijaksanaan sejati datang dari mengenal diri sendiri. Hal ini sejalan dengan prinsip sufistik untuk "ma’rifatullah" melalui perjalanan batin. Sedangkan Plato berbicara tentang dunia ide sebagai bentuk hakiki dari segala sesuatu. Dalam konteks tasawuf, hal ini mirip dengan ide tentang Tuhan sebagai hakikat sejati segala keberadaan.
Dengan demikian, ajaran al-Hallaj memiliki resonansi lintas budaya dan zaman. Ia tidak terbatas pada konteks keislaman semata, tetapi menyentuh akar-akar terdalam dari pencarian manusia terhadap makna dan kebenaran.
Warisan Abadi al-Hallaj
Mansur al-Hallaj memang telah tiada, namun gagasan dan semangatnya terus hidup. Karya-karyanya seperti Kitab al-Tawasin menjadi bahan kajian serius dalam literatur tasawuf. Banyak sufi besar setelahnya, seperti Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi, mengakui pengaruh al-Hallaj dalam perkembangan spiritualitas Islam.
Hari ini, namanya kembali dibicarakan, bukan untuk dikutuk, tapi untuk dipahami. Dunia modern yang diliputi keresahan dan alienasi, membutuhkan sosok-sosok seperti al-Hallaj yang mampu mengajarkan cinta sejati—cinta yang membebaskan, bukan membelenggu.