Populisme dan Polarisasi: Pelajaran dari Kaum Sofis dalam Pemilu AS dan Implikasinya bagi Demokrasi Global

Sofisme dalam Politik Kontemporer
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Dalam beberapa dekade terakhir, politik global telah menyaksikan kebangkitan populisme yang signifikan, terutama terlihat dalam pemilu Amerika Serikat. Fenomena ini sering kali disertai dengan polarisasi masyarakat yang tajam, mengingatkan kita pada praktik sofisme di Yunani Kuno. Artikel ini akan mengulas bagaimana strategi komunikasi yang mirip dengan sofisme digunakan dalam politik kontemporer, khususnya dalam konteks pemilu AS, serta implikasinya bagi demokrasi di seluruh dunia.

Socrates: Filsuf yang Mengajarkan Cara Hidup lewat Pertanyaan-Pertanyaan Sederhana

Sofisme: Sebuah Tinjauan Singkat

Sofisme berasal dari kata Yunani "sophos" yang berarti bijaksana. Pada abad ke-5 SM, kaum Sofis dikenal sebagai guru retorika yang mengajarkan seni persuasi dan argumentasi. Mereka menekankan bahwa kebenaran bersifat relatif dan dapat dibentuk sesuai dengan konteks dan tujuan tertentu. Namun, pendekatan ini sering dikritik karena dianggap mengaburkan kebenaran demi kemenangan argumen.

John Sellars: Media Sosial Bisa Jadi Alat atau Racun, Apa yang Membuatnya Berbeda?

Populisme dalam Pemilu AS: Sebuah Studi Kasus

Pemilu AS, terutama pada tahun 2016 dan 2020, menunjukkan bagaimana strategi komunikasi populis dapat mempengaruhi hasil politik. Donald Trump, sebagai kandidat populis, menggunakan retorika yang menekankan kedekatannya dengan "rakyat biasa" dan menentang "elit politik". Strategi ini mencakup:

René Descartes: Jika Anda Ingin Menjadi Pencari Kebenaran, Anda Harus Meragukan, Setidaknya Sekali dalam Hidup Anda,

1.     Retorika Emosional: Menggunakan bahasa yang membangkitkan emosi untuk mempengaruhi opini publik.

2.     Simplifikasi Isu Kompleks: Menyederhanakan masalah yang rumit menjadi narasi yang mudah dipahami, meskipun mungkin mengabaikan detail penting.

3.     Penciptaan Kambing Hitam: Menunjuk kelompok atau individu tertentu sebagai penyebab masalah, untuk mengalihkan perhatian dari isu sebenarnya.

Strategi-strategi ini efektif dalam membentuk opini publik dan meraih dukungan, terutama di era digital di mana informasi menyebar dengan cepat.

Polarisasi sebagai Dampak Populisme

Salah satu konsekuensi utama dari strategi komunikasi populis adalah polarisasi masyarakat. Retorika yang membelah antara "rakyat" dan "elit" dapat memperdalam jurang perbedaan dalam masyarakat. Di Amerika Serikat, polarisasi ini terlihat jelas dalam perbedaan pandangan politik yang tajam antara pendukung dan penentang Trump. Fenomena ini menimbulkan tantangan bagi demokrasi, karena keputusan politik yang diambil berdasarkan informasi yang menyesatkan dapat merugikan kepentingan publik.

Implikasi bagi Demokrasi Global

Penggunaan strategi komunikasi yang mirip dengan sofisme dalam politik kontemporer memiliki implikasi yang luas bagi demokrasi di seluruh dunia. Beberapa di antaranya adalah:

  • Erosi Kepercayaan Publik: Manipulasi informasi dan retorika yang menyesatkan dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi demokratis.
  • Penyebaran Disinformasi: Informasi yang disederhanakan atau dimanipulasi dapat menyesatkan publik dan mengaburkan kebenaran.
  • Menghambat Dialog Konstruktif: Pendekatan yang menekankan kemenangan argumen daripada pencarian solusi dapat menghalangi diskusi yang produktif.

Fenomena ini menimbulkan tantangan bagi demokrasi, karena keputusan politik yang diambil berdasarkan informasi yang menyesatkan dapat merugikan kepentingan publik.

Menghadapi Tantangan Ini

Untuk mengatasi dampak negatif dari penggunaan strategi komunikasi yang mirip dengan sofisme dalam politik kontemporer, diperlukan langkah-langkah berikut:

1.     Peningkatan Literasi Digital: Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk memilah informasi yang valid dan mengenali disinformasi.

2.     Regulasi Platform Media Sosial: Perlu ada kebijakan yang mendorong platform digital untuk memantau dan menghapus konten yang menyesatkan atau berpotensi memecah belah.

3.     Transparansi dalam Komunikasi Politik: Politisi dan partai politik harus mendorong komunikasi yang jujur dan berbasis fakta, serta menghindari manipulasi informasi demi keuntungan politik.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan dampak negatif dari penggunaan strategi komunikasi yang mirip dengan sofisme dalam politik kontemporer dapat diminimalisir, dan demokrasi dapat berfungsi dengan lebih sehat dan transparan.

Sofisme, meskipun memiliki konotasi negatif, tetap menjadi alat yang efektif dalam komunikasi politik, terutama dalam strategi populis di era digital. Namun, penggunaannya harus disertai dengan tanggung jawab dan kesadaran akan dampak yang ditimbulkan. Masyarakat juga perlu meningkatkan literasi digital dan kritis terhadap informasi yang diterima, agar tidak terjebak dalam manipulasi retorika yang menyesatkan.