Mengupas Sofisme: Seni Berdebat yang Tetap Relevan hingga Era AI
- Handoko/istimewa
Malang, WISATA - Sofisme, seni berbicara dan berdebat yang berkembang sejak era Yunani Kuno, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi manusia. Meskipun sering dikritik karena dianggap mengaburkan kebenaran, teknik-teknik sofisme tetap relevan hingga saat ini, terutama dalam menghadapi tantangan komunikasi di era kecerdasan buatan (AI).
Dari filsafat hingga politik, dari media sosial hingga teknologi informasi, sofisme terus berkembang dalam berbagai bentuk. Para politisi, pemimpin bisnis, dan bahkan sistem AI menggunakan retorika dan persuasi untuk membentuk opini publik. Dengan demikian, pertanyaan yang muncul adalah: apakah sofisme masih merupakan seni berdebat yang sah, ataukah telah menjadi alat manipulasi di era digital?
Asal Usul Sofisme: Dari Yunani Kuno ke Dunia Modern
Pada abad ke-5 SM, kaum Sofis di Yunani Kuno dikenal sebagai guru dan pemikir yang mengajarkan seni berbicara, retorika, dan persuasi. Mereka menekankan bahwa kebenaran bersifat relatif dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan audiens atau situasi tertentu.
Salah satu tokoh Sofis terkenal, Protagoras, menyatakan bahwa "Manusia adalah ukuran segala sesuatu." Pernyataan ini mencerminkan pandangan bahwa kebenaran tidaklah universal, melainkan tergantung pada perspektif individu. Pandangan ini bertentangan dengan ajaran filsuf besar seperti Socrates dan Plato, yang menilai bahwa kebenaran harus didasarkan pada prinsip moral yang absolut.
Namun, dalam dunia yang semakin kompleks, konsep kebenaran absolut semakin sulit untuk diterapkan. Perbedaan budaya, latar belakang sosial, dan perkembangan teknologi telah mengubah cara kita memandang realitas. Inilah sebabnya mengapa prinsip-prinsip sofisme masih bertahan dan terus berkembang hingga era modern.
Relevansi Sofisme di Era Digital dan Politik Global