Sofisme dalam Politik Kontemporer: Membongkar Strategi Komunikasi Populis di Era Digital

Sofisme dalam Politik Kontemporer
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Di era digital yang serba cepat ini, politik mengalami transformasi signifikan dalam cara komunikasi dan interaksi dengan publik. Salah satu fenomena yang menonjol adalah penggunaan sofisme dalam strategi komunikasi populis. Sofisme, yang berakar dari tradisi Yunani Kuno, kini menemukan relevansinya kembali dalam politik kontemporer, terutama dengan dukungan teknologi digital.

Socrates: “Orang yang Berpikir Dia Tahu Segalanya Sebenarnya Paling Tidak Tahu” — Peringatan Keras bagi Era Digital

Apa Itu Sofisme?

Sofisme berasal dari kata Yunani "sophos" yang berarti bijaksana. Pada abad ke-5 SM, kaum Sofis dikenal sebagai guru retorika yang mengajarkan seni persuasi dan argumentasi. Mereka menekankan bahwa kebenaran bersifat relatif dan dapat dibentuk sesuai dengan konteks dan tujuan tertentu. Namun, pendekatan ini sering dikritik karena dianggap mengaburkan kebenaran demi kemenangan argumen.

Logika yang Membumi: Belajar Berpikir Jernih dari Madilog

Sofisme dan Populisme: Sebuah Kolaborasi Strategis

Populisme adalah pendekatan politik yang mengklaim mewakili "rakyat biasa" dan menentang "elit" yang dianggap korup atau tidak peduli dengan kepentingan publik. Dalam upaya menarik dukungan massa, politisi populis sering menggunakan strategi komunikasi yang mirip dengan sofisme, yaitu:

Jules Evans: Keberanian Terbesar adalah Keberanian Hidup dengan Nilai-Nilai Anda di Dunia yang Sering Mengabaikannya

1.     Retorika Emosional: Menggunakan bahasa yang membangkitkan emosi untuk mempengaruhi opini publik.

2.     Simplifikasi Isu Kompleks: Menyederhanakan masalah yang rumit menjadi narasi yang mudah dipahami, meskipun mungkin mengabaikan detail penting.

Halaman Selanjutnya
img_title