Mengupas Sofisme: Seni Berdebat yang Tetap Relevan hingga Era AI
- Handoko/istimewa
Di era digital saat ini, prinsip-prinsip sofisme tampak semakin relevan. Dalam dunia politik, para pemimpin sering menggunakan retorika yang dirancang untuk memengaruhi emosi publik dan memenangkan dukungan, meskipun tidak selalu berakar pada fakta atau kebenaran moral.
Contohnya dapat kita lihat dalam fenomena populisme global. Donald Trump di Amerika Serikat dan Narendra Modi di India adalah dua sosok pemimpin yang menggunakan strategi retorika populis untuk membangun basis pendukung yang kuat. Mereka menggunakan bahasa yang sederhana, langsung, dan emosional untuk membentuk opini publik.
Di Indonesia, retorika populis juga banyak digunakan dalam kampanye politik, terutama sejak pemilihan Presiden Joko Widodo pada 2014. Pendekatan politik yang menitikberatkan pada narasi sederhana namun emosional terbukti efektif dalam memenangkan hati masyarakat.
Taktik yang digunakan dalam populisme modern sangat mirip dengan metode yang digunakan oleh kaum Sofis. Mereka tidak berusaha mencari kebenaran mutlak, tetapi lebih kepada bagaimana cara menyampaikan argumen agar tampak meyakinkan dan diterima oleh masyarakat luas.
Sofisme dan Berita Palsu: Manipulasi Informasi di Era AI
Dengan maraknya media sosial, informasi dapat dengan mudah dimanipulasi untuk membentuk opini publik. Berita palsu atau hoaks sering kali dirancang dengan judul sensasional dan konten yang provokatif untuk menarik perhatian serta memicu emosi pembaca.
Menurut data dari Reuters Institute Digital News Report 2024, lebih dari 50% pengguna internet di berbagai negara mengaku kesulitan membedakan antara berita yang benar dan berita yang dimanipulasi. Teknologi seperti algoritma media sosial mempercepat penyebaran informasi yang menyesatkan, sering kali tanpa verifikasi yang memadai.