Shifting atau Resesi? Mengupas Fakta di Balik Kelesuan Ekonomi Global
- Image Creator bing/Handoko
Jakarta, WISATA - Ekonomi dunia kini menghadapi tantangan besar. Banyak yang bertanya, apakah pelemahan ini benar-benar akibat dari shifting digital yang tak terelakkan, atau karena resesi global yang mulai merambah di berbagai sektor? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, dan diskusi mengenai penyebab sebenarnya dari fenomena ini terus memanas. Mari kita menelusuri berbagai data dan fakta untuk memahami situasi ekonomi global yang kompleks ini.
Apa Itu Shifting Digital dan Bagaimana Dampaknya?
Shifting digital, atau transformasi digital, adalah proses peralihan dari metode tradisional ke sistem berbasis teknologi yang lebih modern. Di era ini, bisnis konvensional mulai beralih ke platform online, sementara perusahaan teknologi semakin mendominasi pasar global. Fenomena ini mempercepat adopsi teknologi baru di banyak industri, mulai dari perbankan hingga ritel.
Misalnya, laporan dari Bank Dunia menyebutkan bahwa sejak pandemi COVID-19, transaksi digital global melonjak sebesar 40%. Di Indonesia, data dari Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) mengungkapkan bahwa transaksi pembayaran digital meningkat 32,3% pada tahun 2023. Kenaikan ini sejalan dengan bertambahnya jumlah pengguna internet dan penetrasi smartphone yang semakin luas.
Namun, shifting ini juga memiliki efek samping. Banyak usaha kecil yang kesulitan untuk beradaptasi dan menghadapi persaingan dari raksasa teknologi. Di sektor ritel, perusahaan-perusahaan besar seperti Amazon dan Alibaba mengancam eksistensi toko-toko fisik kecil, yang berjuang untuk bertahan hidup.
Ancaman Resesi: Faktor-Faktor Global yang Menghantui
Meskipun shifting digital sangat berdampak pada perubahan struktural ekonomi, ancaman resesi tidak dapat diabaikan. Berbagai indikator menunjukkan bahwa perekonomian global menghadapi situasi yang berbahaya. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi hanya mencapai 2,7% pada 2023, turun dari 3,5% di tahun sebelumnya. Inflasi tinggi dan kebijakan moneter ketat yang diambil oleh bank sentral di berbagai negara juga memperparah situasi.