Seneca: Tidak Ada yang Lebih Terhormat dari Hati yang Bersyukur
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA — Dalam dunia yang penuh persaingan dan ambisi, kutipan Seneca, “Nothing is more honorable than a grateful heart,” menjadi pengingat mendalam bahwa kehormatan sejati bukan berasal dari kekuasaan, kekayaan, atau status sosial, melainkan dari kualitas batin seseorang: rasa syukur. Seneca, filsuf Stoik yang hidup pada abad pertama Masehi, menekankan bahwa hati yang bersyukur mencerminkan kedewasaan spiritual dan kematangan moral yang sejati.
Di tengah kemajuan teknologi, derasnya informasi, dan budaya instan, kita sering lupa berhenti sejenak untuk mensyukuri hal-hal kecil yang ada di sekitar kita: kesehatan, persahabatan, kesempatan belajar, bahkan nafas yang kita hirup setiap pagi. Bagi Seneca, orang yang bersyukur bukanlah mereka yang memiliki segalanya, tetapi mereka yang mampu mengapresiasi apa pun yang dimilikinya, sekecil apa pun itu.
Rasa syukur, menurut filsafat Stoik, adalah bentuk penerimaan tertinggi terhadap hidup. Seseorang yang memiliki hati bersyukur tidak akan mudah diguncang oleh kesulitan, tidak mudah iri pada keberuntungan orang lain, dan tidak tergoda oleh kerakusan. Ia tahu bahwa hidup ini bukan tentang mengumpulkan lebih banyak, tapi tentang menyadari nilai dari apa yang sudah ada.
Dalam dunia bisnis dan kepemimpinan, prinsip ini sangat relevan. Seorang pemimpin yang bersyukur akan lebih mudah membangun kepercayaan tim, menciptakan lingkungan kerja yang sehat, dan menjadi teladan yang dihormati. Di sisi lain, individu yang hidup dalam rasa syukur cenderung lebih bahagia, lebih sehat secara mental, dan lebih tahan terhadap stres—fakta ini juga didukung oleh berbagai riset psikologis modern.
Seneca juga menekankan bahwa rasa syukur bukan hanya soal perasaan pribadi, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan. Ucapan terima kasih yang tulus, kesediaan membantu, serta menghargai kontribusi orang lain adalah bentuk-bentuk konkret dari hati yang bersyukur. Ini bukan sekadar etika sosial, melainkan ekspresi dari filosofi hidup yang luhur.
Lebih jauh lagi, rasa syukur memperkuat hubungan antarmanusia. Dalam pertemanan, rasa terima kasih mempererat kepercayaan. Dalam keluarga, rasa syukur menciptakan suasana kasih yang saling mendukung. Dalam masyarakat, sikap ini mendorong terciptanya solidaritas dan empati, yang sangat dibutuhkan dalam era yang sering menonjolkan individualisme.
Seneca menulis bukan hanya untuk mendidik, tapi juga untuk menyembuhkan jiwa. Dan dengan mengatakan bahwa tidak ada yang lebih terhormat dari hati yang bersyukur, ia mengarahkan kita untuk menjadikan syukur sebagai fondasi kehidupan. Karena hanya mereka yang mampu menghargai apa yang telah dimiliki, yang benar-benar siap menerima lebih.