Seneca: “Kesetiaan yang dibeli dengan uang, bisa dihancurkan oleh uang.”

Seneca
Sumber :
  • Cuplikan layar

“Fidelity purchased with money, money can destroy.”

Socrates dan Rahasia Hidup Bahagia: Mengapa Hidup yang Baik Lebih Penting daripada Sekadar Hidup

Jakarta, WISATA — Dalam dinamika kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan ekonomi, uang kerap dianggap sebagai alat pemersatu, pemulus hubungan, bahkan simbol kepercayaan. Namun filsuf Stoik terkenal dari Romawi kuno, Seneca, mengingatkan kita akan kenyataan yang lebih dalam dan pahit: Kesetiaan yang dibeli dengan uang, bisa dihancurkan oleh uang.”

Pernyataan ini bukan sekadar kutipan kuno, melainkan cerminan dari kenyataan yang terus terulang hingga kini. Di berbagai sektor kehidupan—politik, bisnis, bahkan hubungan pribadi—kita menyaksikan bagaimana kesetiaan bisa diperjualbelikan, dan pada akhirnya, menjadi rapuh karena fondasi yang tidak kuat: uang.

Socrates Bongkar Kunci Kebahagiaan Sejati: “Berhentilah Mengejar yang Tak Kamu Miliki, Nikmatilah Apa yang Sudah Ada”

Kesetiaan yang Berakar pada Materi

Dalam kehidupan sosial maupun profesional, kita kerap menemukan loyalitas yang bersifat transaksional. Misalnya, pekerja yang setia kepada perusahaan bukan karena visi atau nilai-nilai yang sejalan, melainkan semata karena gaji dan fasilitas. Atau politisi yang loyal kepada suatu kubu selama dukungan finansial masih mengalir. Begitu uang berhenti, kesetiaan pun menguap.

Bukan Harta, Tapi Hati: Socrates Ungkap Siapa Orang Paling Kaya di Dunia!

Seneca mengkritisi bentuk kesetiaan seperti ini. Menurutnya, jika kesetiaan seseorang bisa dibeli dengan uang, maka ia juga bisa berpaling kepada siapa pun yang menawarkan bayaran lebih tinggi. Artinya, kesetiaan itu bukan sejati, tetapi bersifat sementara dan rapuh.

Uang Sebagai Alat, Bukan Fondasi Hubungan

Uang memang penting dalam kehidupan. Namun menjadikan uang sebagai dasar dalam membangun kepercayaan dan loyalitas adalah kesalahan fatal. Hubungan yang sehat—baik dalam pertemanan, keluarga, organisasi, maupun negara—harus dibangun atas dasar nilai, kepercayaan, dan integritas.

Ketika uang menjadi satu-satunya motivasi, maka kesetiaan itu tidak memiliki akar yang kuat. Begitu terjadi perubahan ekonomi atau tawaran yang lebih besar dari pihak lain, hubungan pun mudah goyah.

Fenomena Sosial: Politik Uang dan Bisnis Transaksional

Kita bisa melihat kutipan Seneca ini relevan dalam dunia politik Indonesia. Politik uang telah menjadi masalah kronis yang merusak integritas pemilu dan demokrasi. Banyak pemilih yang loyal hanya karena "serangan fajar", tetapi akan berpaling pada calon lain di pemilu berikutnya yang memberi lebih.

Begitu pula dalam dunia bisnis, di mana loyalitas pelanggan atau mitra kadang hanya dibangun melalui potongan harga, insentif, atau bonus. Padahal, begitu kompetitor menawarkan lebih, loyalitas itu lenyap. Padahal, membangun kesetiaan sejati memerlukan kualitas, etika, dan nilai-nilai yang dipercaya kedua pihak.

Seneca dan Nilai-Nilai Stoik: Keutamaan atas Keuntungan

Sebagai filsuf Stoik, Seneca mengajarkan bahwa kebahagiaan dan ketenangan batin berasal dari hidup berdasarkan kebajikan (virtue), bukan dari materi. Dalam kerangka itu, kesetiaan adalah hasil dari karakter yang kuat, bukan dari kompensasi.

Stoikisme mendorong manusia untuk tidak tergantung pada hal-hal eksternal yang tidak bisa mereka kendalikan, termasuk uang. Maka, seseorang yang benar-benar setia adalah mereka yang memilih tetap mendukung dan berdiri di sisi yang benar meskipun tidak mendapatkan keuntungan materi.

Konteks Kehidupan Pribadi: Cinta dan Persahabatan

Kutipan Seneca ini juga relevan dalam hubungan personal. Cinta dan persahabatan yang dibangun atas dasar harta akan rapuh. Banyak kisah pernikahan yang runtuh saat kekayaan berkurang. Banyak juga hubungan pertemanan yang berakhir saat tidak ada lagi keuntungan untuk dibagi.

Jika seseorang mencintai atau bersahabat hanya karena kekayaan atau status sosial, maka hubungan itu sudah cacat sejak awal. Seneca mengingatkan kita untuk membangun hubungan yang otentik, yang didasari pada kejujuran, rasa hormat, dan nilai-nilai bersama, bukan karena kemewahan yang bersifat sementara.

Implikasi dalam Pembangunan Bangsa

Indonesia yang tengah bergerak menuju transformasi digital dan kemajuan teknologi juga perlu memperhatikan nilai-nilai moral yang diajarkan oleh Seneca. Dalam membangun ekosistem teknologi, inovasi, dan industri 4.0, kita tidak hanya memerlukan kecanggihan alat, tetapi juga integritas, kerja sama, dan loyalitas antarpihak yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Perusahaan rintisan (startup), institusi pendidikan, pemerintah, dan investor perlu membangun kemitraan yang kokoh atas dasar kepercayaan dan visi bersama, bukan sekadar bagi hasil atau insentif jangka pendek. Dengan cara ini, kita bisa membangun sistem yang tahan krisis dan berkelanjutan.

Mengembalikan Makna Sejati Kesetiaan

Seneca ingin membawa kita kembali pada makna kesetiaan yang sejati—kesetiaan yang berasal dari komitmen terhadap nilai, bukan dari imbalan. Kesetiaan seperti ini tidak tergoyahkan oleh perubahan keadaan atau tawaran yang lebih tinggi, karena ia berakar pada prinsip moral dan kedalaman karakter.

Masyarakat Indonesia perlu kembali menghidupkan nilai-nilai luhur dalam hubungan sosial, ekonomi, dan politik. Kita harus berani mengatakan bahwa kesetiaan sejati tidak bisa dibeli—dan bahwa kesetiaan yang bisa dibeli, pada dasarnya bukanlah kesetiaan.

Penutup: Pilihlah Kesetiaan yang Bernilai, Bukan yang Murah

Seneca memberi kita pelajaran yang sangat penting dan relevan untuk zaman ini. Di tengah dunia yang serba transaksional, kita diajak untuk meninjau ulang apa arti sejati dari loyalitas. Kita diajak untuk menjadi pribadi yang setia karena keyakinan, bukan karena keuntungan.

Mari kita renungkan kembali kutipan ini:

“Kesetiaan yang dibeli dengan uang, bisa dihancurkan oleh uang.”

Dan mari kita bangun masyarakat dan ekosistem yang menempatkan nilai di atas materi, prinsip di atas keuntungan, serta kesetiaan sejati di atas loyalitas yang bisa dibeli.