Seneca: Jika apa yang kamu miliki terasa tidak cukup bagimu, maka meskipun kamu memiliki seluruh dunia, kamu …

Seneca
Sumber :
  • Cuplikan layar

If what you have seems insufficient to you, then though you possess the world, you will yet be miserable  “Jika apa yang kamu miliki terasa tidak cukup bagimu, maka meskipun kamu memiliki seluruh dunia, kamu tetap akan merasa menderita.”

Pierre Hadot: “Filsafat adalah Pilihan Eksistensial yang Menuntut Transformasi Cara Hidup”

Jakarta, WISATA — Dalam dunia yang penuh dengan ambisi, konsumerisme, dan standar kesuksesan yang terus naik, kita sering merasa bahwa apa yang kita miliki belum cukup. Kita mengejar lebih banyak uang, lebih banyak barang, lebih banyak pengakuan. Namun, Seneca, seorang filsuf Stoik terkenal dari Romawi kuno, menyampaikan sebuah peringatan yang sangat relevan dengan kondisi saat ini: “Jika apa yang kamu miliki terasa tidak cukup bagimu, maka meskipun kamu memiliki seluruh dunia, kamu tetap akan merasa menderita.”

Kutipan ini menyentuh akar dari salah satu penyakit psikologis zaman modern—ketidakpuasan yang terus-menerus. Meskipun kita hidup dalam era yang lebih makmur dibanding zaman mana pun dalam sejarah, banyak dari kita yang merasa kekurangan, bahkan ketika kebutuhan dasar telah terpenuhi. Kenapa?

Socrates dan Rahasia Hidup Bahagia: Mengapa Hidup yang Baik Lebih Penting daripada Sekadar Hidup

Akar Ketidakpuasan: Harapan yang Tidak Realistis

Seneca mengajarkan bahwa penderitaan bukan berasal dari kekurangan itu sendiri, tetapi dari keinginan yang tidak terpuaskan. Ketika kita terus menginginkan sesuatu yang lebih, kita tidak pernah bisa bersyukur atas apa yang sudah kita miliki.

Socrates Bongkar Kunci Kebahagiaan Sejati: “Berhentilah Mengejar yang Tak Kamu Miliki, Nikmatilah Apa yang Sudah Ada”

Dalam ajaran filsafat Stoik, kebahagiaan tidak bergantung pada hal-hal eksternal. Sebaliknya, kebahagiaan sejati datang dari kemampuan untuk menerima hidup apa adanya, bersyukur atas yang ada, dan tidak diperbudak oleh keinginan yang tak ada ujungnya.

“Orang yang tidak puas dengan sedikit, tidak akan pernah puas dengan banyak.”

Kalimat ini menggambarkan betapa rapuhnya hidup yang didasarkan pada akumulasi dan pembandingan dengan orang lain.

Kekayaan Tak Selalu Membawa Kebahagiaan

Banyak contoh dalam kehidupan nyata membuktikan bahwa memiliki segalanya tidak menjamin kebahagiaan. Ada orang-orang yang terkenal dan kaya raya, tetapi merasa kesepian, depresi, atau hampa. Di sisi lain, ada orang-orang yang hidup sederhana, tetapi memiliki kehidupan yang damai dan penuh makna.

Seneca ingin mengajarkan bahwa kebahagiaan adalah soal perspektif, bukan soal jumlah aset. Jika mentalitas kita adalah “belum cukup,” maka kita akan selalu merasa menderita, tidak peduli seberapa banyak yang kita miliki.

Perbandingan Sosial: Racun Diam-Diam

Salah satu penyebab utama dari ketidakpuasan saat ini adalah perbandingan sosial. Media sosial memperparah kondisi ini. Kita melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna—liburan mewah, rumah megah, pencapaian besar—dan merasa hidup kita belum ada apa-apanya. Padahal yang kita lihat hanyalah potongan momen terbaik dari kehidupan orang lain.

Seneca mengingatkan kita untuk tidak menilai diri berdasarkan apa yang tampaknya dimiliki orang lain. Fokuslah pada diri sendiri, pada apa yang telah dicapai dan dimiliki, serta pada nilai-nilai yang lebih mendalam daripada sekadar materi.

Berlatih Bersyukur: Kunci Bahagia Menurut Stoikisme

Untuk melawan perasaan tidak cukup, latihan rasa syukur adalah kuncinya. Dalam praktik Stoik, para filsuf kerap merenung setiap pagi dan malam, memikirkan hal-hal yang patut disyukuri dan mengingat bahwa segala sesuatu bisa hilang kapan saja. Ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memperdalam rasa apresiasi terhadap hidup.

Seneca sendiri menuliskan bahwa kita seharusnya hidup seolah-olah setiap hari adalah hari terakhir kita. Dengan begitu, kita akan lebih menghargai apa yang ada di depan mata.

Relevansi dalam Kehidupan Masyarakat Modern

Bagi masyarakat Indonesia yang tengah menghadapi tantangan ekonomi, kesenjangan sosial, dan tekanan hidup dari berbagai sisi, pesan Seneca sangat relevan. Banyak keluarga yang berjuang untuk naik kelas ekonomi, dan dalam prosesnya terjebak dalam hutang, gaya hidup konsumtif, dan tekanan sosial.

Masyarakat perlu disadarkan bahwa kehidupan yang cukup bukanlah kehidupan yang serba mewah, melainkan kehidupan yang bisa dinikmati tanpa rasa cemas akan kekurangan. Ketika kita mengubah pola pikir dari "ingin lebih" menjadi "cukup dan bersyukur," maka kita membebaskan diri dari penderitaan batin yang tidak perlu.

Membangun Budaya ‘Cukup’ di Tengah Budaya Konsumsi

Seneca mengajak kita membangun budaya baru, yaitu budaya “cukup” (enough culture). Dalam budaya ini, orang tidak dinilai dari apa yang mereka miliki secara materi, tetapi dari karakter, kontribusi, dan ketenangan batinnya.

Pendidikan karakter, diskusi publik, dan praktik spiritual harus mendorong masyarakat untuk mengubah definisi sukses dan bahagia. Ini bukan soal menyerah pada keadaan, tetapi soal menemukan makna yang lebih dalam daripada sekadar materi.

Penutup: Cukup Itu Kaya

Pesan Seneca mengajarkan bahwa orang yang merasa cukup, sesungguhnya adalah orang yang paling kaya. Sebaliknya, orang yang terus merasa kurang akan menderita, meskipun ia dikelilingi oleh kemewahan dunia.

Mari kita renungkan kembali kutipan ini:

“Jika apa yang kamu miliki terasa tidak cukup bagimu, maka meskipun kamu memiliki seluruh dunia, kamu tetap akan merasa menderita.”

Kebahagiaan bukan datang dari memiliki dunia, tapi dari berdamai dengan diri sendiri dan mensyukuri yang telah kita miliki.