Seneca: Kesulitan Menjadikan Kita Bijak, Kemakmuran Sering Melupakan Kita pada Kebenaran
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA — Dalam sejarah pemikiran filsafat Stoik, Seneca dikenal sebagai sosok yang mendorong manusia untuk menghadapi hidup dengan keberanian, kebijaksanaan, dan refleksi mendalam. Salah satu kutipan terkenalnya menyatakan bahwa kita menjadi lebih bijak justru melalui penderitaan, bukan dari kenyamanan atau kemakmuran. Sebab, di balik setiap kesulitan, tersembunyi pelajaran hidup yang tak ternilai.
Adversitas Sebagai Guru Terbaik
Kesulitan, penderitaan, dan tekanan hidup kerap dipandang sebagai musibah yang harus dihindari. Namun Seneca justru mengajarkan hal sebaliknya: adversity (kesulitan) adalah guru terbaik yang membentuk karakter, membangun ketangguhan, dan memperdalam kebijaksanaan.
Dalam masa-masa sulit, kita dipaksa untuk berpikir lebih dalam, mencari solusi, dan mengevaluasi makna hidup. Di situlah muncul pemahaman akan nilai-nilai sejati seperti kejujuran, kesetiaan, keadilan, dan keberanian. Manusia yang telah melewati masa-masa gelap sering kali menjadi lebih rendah hati, berempati, dan menghargai hal-hal sederhana dalam hidup.
Kemakmuran: Pedang Bermata Dua
Sebaliknya, kemakmuran dan kenyamanan kerap membuat manusia lengah. Ketika segala kebutuhan terpenuhi dengan mudah, banyak orang kehilangan rasa syukur, menjadi terlena oleh kesenangan duniawi, dan lupa pada prinsip moral. Dalam kondisi makmur, kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, melakukan pemborosan, atau menyepelekan nilai-nilai etis meningkat drastis.
Seneca menyampaikan bahwa kemakmuran bisa menjadi jebakan. Ia bukan musuh, tapi jika tidak disikapi dengan bijak, ia bisa menghancurkan penghargaan kita terhadap kebenaran dan kebajikan.
Relevansi di Era Modern
Di tengah era digital, kemudahan akses, dan gaya hidup instan, nasihat Seneca terasa sangat relevan. Banyak orang tergoda oleh pencitraan semu di media sosial, konsumsi berlebihan, dan kecenderungan mengejar popularitas. Di saat yang sama, mereka menjadi rentan terhadap stres, krisis makna, dan kehilangan arah hidup.
Menghadapi kenyataan tersebut, kita perlu membangun kembali kesadaran bahwa kualitas hidup tidak ditentukan oleh kemewahan, melainkan oleh kedalaman pemahaman terhadap hidup itu sendiri. Tantangan dan kesulitan harus dihadapi, bukan dihindari, karena justru di situlah ruang bagi pertumbuhan batin yang sejati.
Kesimpulan: Keseimbangan antara Kemakmuran dan Kebijaksanaan
Seneca tidak menolak kemakmuran, tapi mengingatkan agar kita tetap sadar dan waspada. Kemakmuran harus dibarengi dengan integritas dan kesadaran moral. Adversitas bukanlah kutukan, melainkan peluang untuk memperkuat jiwa dan memperkaya batin.
Dengan menyambut tantangan sebagai bagian dari proses pembentukan diri, dan menyikapi kemakmuran dengan kerendahan hati serta tanggung jawab, kita akan menjalani kehidupan yang lebih bijak, lebih manusiawi, dan lebih bermakna.