Pencarian Antibiotik Baru dalam DNA Purba Termasuk Mammoth dan Neanderthal
- pixabay
Malang, WISATA – Para ilmuwan menyelidiki kode genetik mammoth berbulu dan Neanderthal untuk menemukan senyawa baru karena obat-obatan yang ada saat ini sudah tidak lagi manjur.
Menurut César de la Fuente, ahli bioteknologi yang membantu menemukan molekul tersebut, dalam percobaan, mammuthusin--sebutan untuk senyawa tersebut--telah membasmi bakteri super, bakteri yang resistan terhadap antibiotik masa kini dan menyebabkan infeksi yang sulit diobati.
De la Fuente, seorang profesor di University of Pennsylvania, merupakan salah satu dari sekelompok ilmuwan yang menyelidiki tempat-tempat kuno dan tidak biasa--mulai dari sisa-sisa genetik Neanderthal dan hewan yang telah punah hingga tanah pekarangan belakang yang sederhana--untuk menemukan antibiotik baru.
Ia mengatakan pencarian tersebut sangat sulit, "Resistensi antibiotik merupakan salah satu tantangan terbesar yang kita hadapi sebagai masyarakat."
Infeksi yang disebabkan oleh bakteri super berkontribusi terhadap kematian lebih dari lima juta orang di seluruh dunia setiap tahun dan jumlah tersebut terus bertambah. Antibiotik semakin kehilangan potensinya bahkan terhadap infeksi yang umum. Tanpa obat baru, resistensi antibiotik dapat membunuh sekitar 39 juta orang pada tahun 2050, sebuah studi tahun lalu memperkirakan.
Kini, pendekatan baru terhadap penelitian mulai hadir di industri yang lambat dalam membuat obat baru dan terhambat oleh kemampuan bakteri untuk mengembangkan pertahanan dengan cepat terhadap obat yang sudah ada. Sebagian besar antibiotik yang kita gunakan saat ini dan yang telah menyelamatkan ratusan juta nyawa, ditemukan di alam banyak di antaranya puluhan tahun lalu dan beberapa secara tidak sengaja. Misalnya, Alexander Fleming menemukan penisilin pada tahun 1928 setelah kembali dari liburan dan menemukan bahwa jamur pada cawan petri telah mencegah bakteri berbahaya tumbuh.
Untuk membantu memerangi bakteri super, para dokter mengatakan kita memerlukan antibiotik baru dengan struktur kimia atau mekanisme kerja baru. Namun, hanya segelintir obat semacam itu yang telah beredar di pasaran selama beberapa dekade terakhir.
De la Fuente mengandalkan kecerdasan buatan untuk membantu mengakhiri masa kering ini. Ia dan rekan-rekannya telah membangun algoritma pembelajaran mendalam untuk menyisir basis data genetik yang sangat besar guna menemukan peptida atau fragmen protein, yang memiliki sifat antibakteri. Mereka telah menggunakan metode ini untuk menganalisis racun hewan, mikrobioma manusia dan archaea, kelompok mikroorganisme yang belum dieksplorasi. Mereka juga telah menambang kode genetik dari fosil hewan dan manusia yang telah lama punah, termasuk Neanderthal dan Denisova. "Model pembelajaran mendalam ini telah membuka jendela ke masa lalu," kata de la Fuente.
Sebagian besar antibiotik yang digunakan saat ini adalah obat-obatan molekul kecil, yang sebagian besar berasal dari bakteri dan jamur. Molekul-molekul kecil biasanya dapat menembus membran sel dengan mudah dan umumnya diberikan dalam bentuk pil. Peptida, yang terdiri dari rantai pendek asam amino, lebih besar dan lebih kompleks. Peptida cenderung lebih tidak stabil dalam tubuh dan tidak dapat dengan mudah dibuat menjadi pil.
Namun, kemajuan telah dicapai dalam beberapa tahun terakhir untuk meningkatkan kemampuan obat peptida yang mencakup beberapa antibiotik IV, GLP-1 dan insulin—untuk diserap dan digunakan oleh tubuh. Peptida antibakteri juga banyak terdapat di alam, karena merupakan bagian dari sistem kekebalan pada sebagian besar organisme.
"Peptida adalah hal besar berikutnya dalam dunia kedokteran," kata de la Fuente, yang meluncurkan perusahaan rintisan pada bulan Januari untuk lebih mengeksplorasi potensi antibiotik mamuthusin dan peptida lainnya.
Ketika algoritma mengidentifikasi peptida baru dengan potensi antibiotik, de la Fuente dan timnya menggunakan robot untuk memproduksi senyawa tersebut di laboratorium mereka dan kemudian mengujinya pada tikus yang terinfeksi bakteri. Sejauh ini, beberapa ratus peptida yang dibuat di laboratorium de la Fuente telah menyembuhkan tikus yang sakit dengan aman dan efektif.
Salah satunya adalah mammuthusin, yang diidentifikasi dalam kode genetik Mammuthus primigenius, spesies mammoth yang terakhir menjelajahi Bumi sekitar 4.000 tahun yang lalu. Para peneliti menemukan peptida tersebut setelah menambang basis data Pusat Informasi Bioteknologi Nasional yang berisi data sekuensing DNA yang diperoleh dari fosil hewan yang telah punah.
Dalam percobaan, mammuthusin sama ampuhnya dengan polimiksin B, antibiotik yang sering digunakan sebagai pilihan terakhir untuk infeksi serius, menurut sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal Nature pada bulan Juni. Peptida mammoth tersebut secara efektif membasmi jenis bakteri yang oleh Organisasi Kesehatan Dunia telah ditetapkan sebagai patogen kritis karena resistensinya terhadap banyak antibiotik umum.
Pekerjaan dengan spesies yang punah ini "memperluas ruang kimia yang dapat kita jelajahi," kata James Collins, seorang bioteknologi di Massachusetts Institute of Technology. "Ini adalah molekul yang berevolusi dalam waktu dan lingkungan yang berbeda."
Laboratorium Collins telah membangun algoritmanya sendiri untuk menelusuri basis data kimia, seperti basis data obat-obatan farmasi yang ada, untuk mencari senyawa antibakteri yang potensial. Laboratoriumnya juga bereksperimen dengan menggunakan AI generatif untuk merancang molekul yang sama sekali baru yang dapat membunuh bakteri. Collins dan rekan-rekannya mengatakan dalam sebuah makalah tahun 2024 bahwa mereka telah mengidentifikasi antibiotik yang unik secara struktural setelah menganalisis lebih dari 12 juta senyawa kimia