Socrates: Antara Kebodohan dan Kecerdasan dalam Menolak Perubahan

Socrates
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Dalam lautan pemikiran filsafat yang luas dan mendalam, Socrates selalu meninggalkan jejak melalui kalimat-kalimat singkat namun penuh makna. Salah satu kutipan yang paling menggugah adalah: “Only the extremely ignorant or the extremely intelligent can resist change.” Kalimat ini bukan hanya permainan logika, melainkan cermin refleksi atas sikap manusia terhadap perubahan yang tak terhindarkan dalam hidup.

Socrates: Awal dari Kebijaksanaan adalah Mendefinisikan Istilah dengan Jelas

Perubahan adalah bagian alami dari kehidupan. Dari bayi menjadi dewasa, dari zaman batu ke era digital, perubahan terus terjadi, kadang cepat, kadang perlahan. Namun, tidak semua orang siap menghadapinya. Ada yang melawan, ada yang beradaptasi, dan ada pula yang tetap bertahan pada posisi lama. Dalam konteks inilah Socrates memberikan pemisahan yang tajam: hanya dua kelompok yang mampu menolak perubahan — mereka yang sangat bodoh, atau yang sangat cerdas.

Mengapa Mereka yang Sangat Bodoh Menolak Perubahan?

Socrates: “Kebijaksanaan Sejati Datang Saat Kita Menyadari Betapa Sedikitnya Kita Memahami Hidup Ini”

Ketidaktahuan sering kali melahirkan rasa takut. Orang yang tidak tahu cenderung menghindari hal-hal baru, karena ia tak mampu memprediksi konsekuensinya. Baginya, perubahan adalah ancaman. Ia merasa lebih aman dalam ketidaktahuan dan kenyamanan status quo, meski kondisi itu tak lagi relevan.

Ketidaktahuan ini bukan hanya soal kurangnya informasi, tapi juga ketertutupan terhadap pengetahuan. Mereka yang menolak belajar, menutup telinga dari nasihat, dan menolak fakta, akan cenderung memusuhi perubahan. Ini bukan soal kecerdasan intelektual semata, tapi juga tentang keberanian mental untuk terbuka dan berkembang.

Socrates: “Aku Tidak Bisa Mengajar Siapa pun Apa pun. Aku Hanya Bisa Membuat Mereka Berpikir.”

Mengapa Mereka yang Sangat Cerdas Juga Bisa Menolak Perubahan?

Di sisi berlawanan, Socrates menunjukkan bahwa mereka yang sangat cerdas juga bisa menolak perubahan — namun dengan alasan yang berbeda. Orang yang sangat cerdas mungkin telah menemukan sistem yang efisien, telah memahami dunia begitu dalam, sehingga merasa tidak perlu ikut arus. Ia menolak bukan karena takut, tetapi karena sudah tahu arah dan mampu menilai bahwa tidak semua perubahan membawa kebaikan.

Sebagai contoh, seorang ilmuwan yang telah memahami prinsip dasar fisika klasik mungkin menolak konsep baru yang belum teruji secara empiris. Ia menuntut bukti, metode, dan konsistensi logika. Dalam hal ini, penolakannya bukan bentuk stagnasi, melainkan bentuk kehati-hatian intelektual.

Namun, bedanya adalah: orang yang cerdas terbuka terhadap dialog dan argumentasi. Ia tidak menutup diri, melainkan menunggu waktu yang tepat untuk berubah — saat ia benar-benar yakin bahwa perubahan tersebut lebih baik.

Dimana Posisi Kita?

Mayoritas manusia berada di antara dua kutub ekstrem ini. Kita bukan orang yang benar-benar bodoh, tapi juga belum tentu mencapai tingkat kecerdasan tertinggi. Maka tugas kita adalah belajar dari keduanya: jangan menolak perubahan karena ketidaktahuan, tapi juga jangan menyambut perubahan secara buta tanpa memahami konsekuensinya.

Adaptasi menjadi kunci. Dunia bergerak begitu cepat — dari teknologi, ekonomi, hingga budaya. Mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan tetap menjaga prinsip dan akal sehat akan lebih mungkin bertahan dan berkembang.

Perubahan dan Dunia Modern

Di era digital saat ini, kita disuguhkan dengan perubahan yang berlangsung hampir setiap hari. Kecerdasan buatan, teknologi blockchain, transformasi industri, hingga cara kita berinteraksi sosial telah bergeser drastis. Perusahaan yang gagal beradaptasi tenggelam, sementara mereka yang gesit mengambil peluang justru melesat.

Namun, kita juga melihat penolakan-penolakan terhadap teknologi baru, seperti kecemasan terhadap otomatisasi yang dianggap akan “menggantikan manusia,” atau penolakan terhadap sistem pembayaran digital karena dianggap terlalu rumit. Reaksi ini sering kali muncul dari ketidaktahuan, tapi juga kadang dari pemikiran kritis atas risiko yang mungkin terjadi.

Membangun Kecerdasan Adaptif

Kutipan Socrates juga menjadi pengingat bahwa kecerdasan bukan hanya tentang kemampuan logika, tapi juga kemampuan untuk memahami kapan harus berubah dan kapan harus bertahan. Dalam hal ini, kita perlu membangun kecerdasan adaptif — kemampuan untuk terus belajar, menganalisis situasi, dan merespons perubahan dengan tepat.

Orang yang adaptif tidak asal mengikuti arus, tapi juga tidak menolak arus tanpa alasan. Ia terbuka terhadap gagasan baru, tapi tetap menggunakan akal sehat untuk menilai nilai dan risiko dari setiap perubahan.

Menolak Perubahan Bukan Selalu Buruk

Penting juga dipahami bahwa tidak semua perubahan harus diikuti. Dalam beberapa kasus, mempertahankan nilai lama bisa menjadi bentuk kebijaksanaan. Seperti menjaga integritas dalam dunia bisnis yang semakin pragmatis, atau tetap menjunjung etika dalam dunia media sosial yang semakin permisif.

Namun, penolakan ini harus dilandasi oleh pemahaman yang matang, bukan oleh rasa takut atau kebodohan. Jika kita memilih untuk tidak berubah, pastikan keputusan itu berdasarkan analisis yang rasional, bukan karena kita tidak mau belajar atau terlalu nyaman di zona lama.

Penutup: Menjadi Manusia Pembelajar

Socrates selalu mendorong manusia untuk terus berpikir, bertanya, dan belajar. Kutipan ini adalah ajakan agar kita selalu waspada terhadap sikap kita terhadap perubahan. Jangan menjadi orang yang bodoh karena menolak belajar, tapi juga jangan mengklaim kecerdasan dengan menolak segala hal baru tanpa alasan jelas.

Dalam dunia yang terus berubah, menjadi manusia pembelajar adalah pilihan terbaik. Kita tidak harus menjadi yang paling pintar atau paling cepat, tapi kita harus terus bergerak maju, dengan kesadaran, kehati-hatian, dan keterbukaan.

Dengan begitu, kita tidak akan menjadi ekstrem di sisi mana pun, melainkan tetap waras di tengah derasnya arus perubahan.