Kisah Para Sufi: Jalaluddin Rumi, Ketika Syair Menjadi Doa dan Tarian Menjadi Zikir
- Image Creator Grok/Handoko
Jakarta, WISATA — Nama Jalaluddin Rumi terus menggema melampaui batas zaman dan peradaban. Ia bukan hanya seorang penyair atau cendekiawan, tetapi ikon spiritual dunia yang menyatukan hati manusia lewat kata, cinta, dan gerak. Syair-syairnya menjadi doa yang menghidupkan jiwa, sementara gerakan tarinya—yang diwariskan lewat para darwis berputar—menjadi zikir tubuh kepada Tuhan.
Rumi adalah satu dari sedikit tokoh Islam yang mampu menjembatani Timur dan Barat, menghubungkan spiritualitas dan seni, serta menautkan akal dan rasa dalam bahasa cinta yang universal.
Dari Ulama Klasik ke Pecinta Abadi
Lahir di Balkh (kini Afghanistan) pada tahun 1207, Rumi dibesarkan dalam lingkungan keilmuan. Ayahnya, Bahauddin Walad, adalah seorang ulama besar. Sejak muda, Rumi telah menguasai tafsir, hadis, fiqh, dan filsafat. Namun hidupnya berubah total ketika ia bertemu Shams Tabrizi, seorang sufi pengembara yang membakar hatinya dengan cinta Ilahi.
Pertemuan itu mengubah Rumi dari seorang ulama konvensional menjadi pecinta yang menari dalam puisi dan zikir. Shams mengajarinya bahwa Tuhan lebih dekat lewat cinta daripada lewat perdebatan.
Syair yang Menari dan Menangis
Karya-karya Rumi, terutama Masnawi dan Diwan-e Shams, adalah lautan cinta dan makrifat. Dalam bait-baitnya, Rumi menulis bukan untuk menunjukkan kehebatan logika, melainkan untuk mengantar manusia kembali kepada jati dirinya: sebagai hamba dan kekasih Tuhan.
Salah satu syair terkenalnya berbunyi:
"Kau dilahirkan dengan sayap. Mengapa memilih merangkak dalam hidup?"
Ia menulis ribuan bait puisi dalam bahasa Persia yang memuat alegori, simbol, dan metafora tentang perjalanan spiritual. Puisi-puisinya bukan sekadar kata-kata, tapi getaran jiwa yang menembus batas dogma dan sekat agama.
Tarian Sebagai Jalan Pulang
Rumi tidak hanya menulis. Ia juga menari. Tari darwis berputar (Sema) yang diwariskan kepada para pengikutnya dari tarekat Mevlevi adalah simbol spiritual paling indah dalam Islam. Dalam putaran itu, darwis melepas ego dan dunia, memutar diri dalam kesadaran ilahiah, dan menyatu dalam pusat cinta.
Bagi Rumi, tarian adalah doa dalam bentuk gerak. Ketika tubuh bergerak, hati berserah, dan dunia menjadi diam, maka itulah momen ketika manusia paling dekat dengan Penciptanya.
Cinta adalah Agama Rumi
Tidak ada kata yang lebih sering muncul dalam syair Rumi selain "cinta". Namun cinta yang dimaksud bukan sekadar cinta antar manusia, melainkan cinta yang membebaskan, yang membawa jiwa mendekat kepada Tuhan. Dalam salah satu puisinya ia menulis:
"Agamaku adalah cinta. Karena ke mana pun cinta pergi, itulah kiblatku."
Rumi menolak fanatisme. Ia percaya bahwa semua manusia, apapun agamanya, ras, atau bahasanya, adalah makhluk yang diciptakan untuk mencintai dan dicintai.
Warisan yang Tak Pernah Padam
Lebih dari 800 tahun sejak ia wafat di Konya, Turki, pada 1273, Rumi tetap hidup dalam hati jutaan manusia. Karya-karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa dan menjadi bestseller spiritual di Barat. Di Timur, ia menjadi inspirasi para penempuh jalan tasawuf.
Di era modern yang serba cepat dan penuh distraksi, Rumi hadir sebagai pengingat bahwa hidup bukan soal pencapaian luar, tapi tentang perjalanan dalam—menuju Sang Kekasih. Ia mengajarkan bahwa syair bisa menjadi doa, dan tarian bisa menjadi zikir, bila hati terhubung dengan Tuhan.