Albert Camus: “Orang-Orang Terburu-Buru Menghakimi agar Mereka Sendiri Tak Dihakimi”
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA – “Orang-orang terburu-buru menghakimi agar mereka sendiri tak dihakimi.” Kalimat ini adalah salah satu kutipan paling kuat dari Albert Camus, seorang sastrawan dan filsuf asal Prancis yang dikenal sebagai tokoh utama dalam aliran filsafat absurditas. Melalui karya-karyanya seperti The Stranger dan The Myth of Sisyphus, Camus mengajak kita merenungkan tentang kehidupan, kebenaran, dan kecenderungan manusia yang enggan bercermin namun cepat menunjuk.
Kutipan ini bukan sekadar kritik sosial, tetapi juga cerminan jujur atas fenomena yang begitu dekat dengan kenyataan: budaya menghakimi. Dalam masyarakat modern yang dipenuhi dengan opini instan dan kesimpulan tergesa-gesa—baik di ruang sosial, digital, maupun media massa—Camus menyampaikan peringatan filosofis bahwa penghakiman cepat sering kali bukan bentuk kebenaran, melainkan perlindungan diri.
Sastra sebagai Cermin Manusia: Camus dan Filsafat Absurditas
Albert Camus lahir pada 7 November 1913 di Aljazair, dari keluarga miskin yang hidup sederhana. Ayahnya gugur dalam Perang Dunia I, dan ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dalam keterbatasan, Camus menunjukkan kecemerlangan intelektual sejak dini, meski sempat tersendat akibat penyakit tuberkulosis yang dideritanya sejak usia 17 tahun.
Camus bukan hanya menulis fiksi, tetapi juga memunculkan pemikiran filosofis yang mengguncang. Ia mengembangkan filsafat absurditas, yaitu keyakinan bahwa manusia secara kodrati mencari makna hidup, namun dunia ini tidak pernah bisa memberikannya. Dari sinilah muncul benturan yang absurd: keinginan manusia untuk mengerti, dan kenyataan bahwa alam semesta tidak menjawab.
Menghakimi adalah Pelarian dari Introspeksi
Dalam kutipan terkenalnya, “Orang-orang terburu-buru menghakimi agar mereka sendiri tak dihakimi,” Camus mengajak kita menyadari betapa mudahnya manusia menggunakan penilaian terhadap orang lain sebagai bentuk pertahanan. Kita lebih suka menunjuk kelemahan orang lain daripada menghadapi ketidaksempurnaan diri sendiri.
Di tengah budaya internet, media sosial, dan ruang publik yang serba cepat, sikap ini semakin menguat. Opini dibentuk dalam hitungan detik, tanpa pemahaman utuh. Camus menantang cara berpikir seperti ini. Baginya, keberanian sejati bukan dalam menyalahkan orang lain, tetapi dalam mengakui dan memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu.
Dari L'Étranger hingga Le Mythe de Sisyphe: Panggilan untuk Tidak Munafik
Dalam novel L’Étranger (Orang Asing), Camus menggambarkan tokohnya, Meursault, sebagai sosok yang tak sesuai dengan norma masyarakat. Ia tidak menangis di pemakaman ibunya, tidak berpura-pura berduka, dan jujur hingga dianggap dingin dan tak bermoral. Justru karena kejujurannya itu, ia dihakimi dan dijatuhi hukuman mati.
Pesan dari novel ini jelas: masyarakat lebih mudah menerima kebohongan yang sesuai norma daripada kejujuran yang menyimpang dari kebiasaan. Camus memperlihatkan bagaimana penghakiman sosial seringkali lahir bukan dari moral, tetapi dari ketakutan terhadap kejujuran eksistensial.
Sementara dalam Le Mythe de Sisyphe, ia menggambarkan manusia seperti Sisifus, yang terus-menerus mendorong batu ke puncak gunung hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Dalam absurditas hidup ini, Camus mengajak manusia untuk tidak lari dari kenyataan, melainkan menerima hidup apa adanya, tanpa ilusi.
Refleksi Sosial: Kita dan Budaya Penghakiman
Pernyataan Camus ini juga bisa dibaca sebagai kritik terhadap mentalitas masyarakat yang menghindari refleksi diri. Di banyak ruang publik saat ini, terlihat pola pikir biner: benar atau salah, baik atau buruk, tanpa ruang abu-abu. Padahal, kenyataan hidup jauh lebih kompleks.
Menghakimi bisa menjadi bentuk pelarian dari ketidaknyamanan terhadap ketidaksempurnaan diri. Ketika seseorang merasa rentan, ia cenderung mengalihkan fokus ke orang lain. Ini adalah mekanisme psikologis yang tidak disadari oleh banyak orang.
Melalui kutipannya, Camus mengingatkan bahwa tindakan menghakimi lebih mencerminkan kondisi internal seseorang ketimbang realitas objektif. Ia menawarkan jalan yang lebih manusiawi: keberanian untuk tidak langsung menghakimi, dan kebesaran hati untuk menerima keragaman cara hidup.
Albert Camus Hari Ini: Masih Relevan?
Jawabannya: sangat relevan. Dalam era digital yang sarat kebisingan informasi, kita kerap melupakan prinsip dasar dalam berinteraksi: empati dan pemahaman. Camus menawarkan pandangan yang menyejukkan dan mengajak kita merenung.
Sebagai seorang peraih Nobel Sastra, Camus tetap menjadi sumber inspirasi banyak orang di dunia. Ia tidak memberikan jawaban mudah, tetapi justru mempertanyakan kenyamanan palsu yang kerap kita nikmati.
Melalui satu kutipan singkatnya, Camus menyampaikan pesan yang abadi: jangan terburu-buru menghakimi, karena mungkin yang sedang kamu tolak bukanlah kesalahan orang lain, tetapi bayangan dirimu sendiri.