Socrates dan Nilai Persahabatan: Mengapa Kita Lebih Menghitung Domba daripada Sahabat?
- Image Creator Grok/Handoko
Malang, WISATA – Dalam jejak-jejak pemikiran filsafat Yunani kuno, Socrates dikenal bukan hanya sebagai guru bagi Plato, tetapi juga sebagai cermin kehidupan yang mengajak manusia merefleksikan makna keberadaan mereka. Salah satu ucapan Socrates yang menarik perhatian berbunyi: "Dia biasa mengatakan aneh bahwa, jika Anda bertanya kepada seorang pria berapa banyak domba yang dia miliki, dia dapat dengan mudah memberi tahu Anda jumlah yang tepat; sedangkan dia tidak dapat menyebutkan nama teman-temannya atau mengatakan berapa banyak yang dia miliki, begitu sedikit nilai yang dia berikan pada mereka."
Kutipan ini tidak sekadar sindiran, tetapi sebuah tamparan halus terhadap kecenderungan manusia yang lebih menghargai harta benda daripada relasi sosial—khususnya persahabatan sejati.
Antara Kepemilikan dan Hubungan Sosial
Ucapan Socrates tersebut menyiratkan kritik mendalam terhadap masyarakat pada zamannya—dan juga terhadap kita hari ini. Ketika seseorang dengan mudah dapat menyebutkan jumlah aset yang dimilikinya, tetapi kesulitan mengingat siapa teman sejatinya atau menghitung berapa banyak sahabat yang sungguh ia jaga, itu menunjukkan kesenjangan nilai dalam cara manusia memperlakukan relasi.
Dalam masyarakat modern, kecenderungan ini tampak lebih jelas. Orang-orang kini lebih fasih membicarakan portofolio investasi, barang mewah, atau properti mereka, tetapi sering kali kesepian dalam lingkaran pertemanan yang sebenarnya.
Relevansi Kutipan Socrates dalam Dunia Modern
Banyak studi psikologi kontemporer mengungkap bahwa hubungan sosial yang hangat dan bermakna adalah salah satu faktor utama dalam menunjang kebahagiaan dan kesehatan mental. Penelitian dari Harvard Study of Adult Development yang telah berlangsung lebih dari 80 tahun menyimpulkan bahwa "relationships keep us happier and healthier."
Namun ironisnya, kehidupan modern yang serba cepat, kompetitif, dan individualistis justru membuat banyak orang mengabaikan pentingnya relasi yang tulus. Mereka lebih banyak berinteraksi dengan layar gawai dibandingkan berbicara secara langsung dengan teman atau keluarga.
Socrates, lebih dari dua ribu tahun yang lalu, sudah mengidentifikasi masalah ini: manusia cenderung menghitung yang dapat diukur secara materiil dan mengabaikan hal yang tidak kasat mata namun lebih penting—seperti kasih, loyalitas, dan persahabatan.
Persahabatan dalam Pandangan Socrates
Bagi Socrates, persahabatan bukan sekadar relasi sosial biasa. Ia melihatnya sebagai refleksi dari nilai-nilai moral dan kebaikan batin. Seorang sahabat sejati adalah seseorang yang mendorong kita untuk menjadi lebih baik, yang hadir bukan karena untung rugi, tetapi karena cinta kasih dan pengertian.
Socrates sendiri dikenal sering berdiskusi dengan para sahabatnya di tempat umum, bertukar pikiran dan mencari kebenaran bersama. Ia percaya bahwa pengetahuan dan kebajikan tumbuh dari dialog—dan dialog hanya dapat tumbuh dalam hubungan yang saling menghargai.
Maka, saat ia menyindir orang-orang yang lebih peduli pada jumlah domba daripada jumlah teman, ia sedang mengajak kita untuk menilai ulang: apa sebenarnya yang paling penting dalam hidup kita?
Aset Emosional yang Terlupakan
Kita hidup dalam era di mana segala sesuatu diukur dengan angka: saldo rekening, jumlah followers, skor produktivitas, bahkan langkah kaki per hari. Namun ada satu hal yang tidak dapat dengan mudah diukur, tetapi amat menentukan kualitas hidup seseorang: relasi sosial dan rasa saling memiliki.
Jika kita terlalu fokus pada materi, kita mungkin akan kehilangan aset emosional yang paling berharga. Tidak mengherankan jika banyak orang sukses secara finansial, tetapi merasa hampa dan kesepian. Mereka tahu berapa jumlah mobil di garasi, tetapi tidak tahu siapa yang akan datang saat mereka jatuh sakit.
Socrates memberi kita pelajaran bahwa teman sejati adalah kekayaan yang tidak bisa dibeli, dan seharusnya dihitung serta dijaga layaknya harta yang paling berharga.
Pelajaran untuk Generasi Digital
Generasi digital saat ini menghadapi tantangan yang berbeda. Banyak hubungan yang bersifat instan, dibentuk melalui media sosial dan pesan singkat. Dalam konteks ini, kutipan Socrates menjadi semakin penting.
Apakah kita benar-benar memiliki teman, atau hanya “followers”? Apakah kita menjalin kedekatan yang nyata, atau hanya terhubung secara teknis tanpa keterlibatan emosional?
Socrates mengajarkan bahwa jumlah teman tidak sepenting kualitas hubungan yang kita miliki. Kita bisa memiliki ribuan koneksi digital, tetapi tanpa pertemanan sejati, hidup akan terasa kosong.
Menumbuhkan Kesadaran Sosial
Pesan Socrates ini sepatutnya menjadi bahan refleksi, terutama di tengah krisis mental global yang makin meningkat. Banyak kasus depresi dan kecemasan yang berakar pada perasaan kesepian, terisolasi, dan tidak memiliki tempat berbagi.
Dengan menempatkan kembali nilai pada persahabatan dan interaksi manusia yang tulus, kita bisa membangun masyarakat yang lebih sehat—baik secara mental maupun spiritual.
Penting juga bagi pendidikan modern untuk menanamkan nilai empati, kerja sama, dan kehangatan sosial, bukan hanya mengejar angka akademis atau keterampilan teknis semata.
Penutup: Saatnya Menghitung Teman, Bukan Hanya Kekayaan
Socrates, dengan gaya bertanyanya yang tajam namun penuh kasih, mengingatkan kita semua untuk tidak terjebak dalam penghitungan materi semata. Ia mengajak kita untuk menghitung—bukan hanya domba, uang, atau properti—tetapi juga siapa yang ada di samping kita dalam suka dan duka.
Kita perlu kembali pada relasi yang manusiawi, pada nilai-nilai luhur yang membuat hidup bermakna. Persahabatan bukan sekadar bonus dalam hidup, melainkan fondasi yang menopang kehidupan yang sehat dan bahagia.
Jadi, saat Anda tahu berapa jumlah kendaraan yang Anda miliki, cobalah juga tanyakan kepada diri sendiri: “Berapa jumlah teman sejati yang aku miliki dan benar-benar aku hargai?”