Socrates dan Kebahagiaan Sejati: Dekat dengan Tuhan Lewat Hidup yang Sederhana

Socrates
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Bayangkan Anda hidup di tengah keramaian kota, dengan iklan dan media sosial yang setiap hari membombardir Anda dengan pesan: “Kamu harus punya ini!”, “Kamu belum sukses kalau belum mencapai itu!”. Tanpa disadari, hal ini mendorong kita untuk merasa tidak cukup, meskipun secara objektif, hidup kita sudah berkecukupan.

Seneca: “Tidak ada kenikmatan dalam memiliki sesuatu yang berharga kecuali jika kita punya seseorang untuk berbagi.”

Ajaran Socrates menjadi pengingat penting bahwa kecukupan itu bukan terletak pada jumlah harta, tapi pada perasaan cukup. Ia yang paling dekat dengan kebijaksanaan, kedamaian, dan bahkan Tuhan, adalah orang yang mampu berkata dalam hati: “Apa yang aku miliki sudah cukup untuk hidup bahagia.”

Kesederhanaan Bukan Keterbatasan

Eckhart Tolle: “Waktu adalah Ilusi; Yang Berharga Adalah Momen Saat Ini”

Kesalahan umum yang sering terjadi adalah menganggap hidup sederhana sebagai bentuk kekurangan atau keterbatasan. Padahal, kesederhanaan adalah pilihan sadar untuk hidup lebih ringan, lebih bermakna, dan lebih bebas dari tekanan sosial.

Dalam budaya Timur, kita juga mengenal konsep serupa seperti “nrimo ing pandum” dalam falsafah Jawa atau prinsip “sederhana tapi bahagia” yang banyak diajarkan dalam tradisi keagamaan dan kebudayaan lokal. Semua itu mengarah pada satu kebenaran universal: manusia menjadi lebih damai ketika tidak dikuasai oleh nafsu dan keinginan berlebihan.

Ryan Holiday: “Ketenangan adalah Hadiah bagi Mereka yang Mampu Menundukkan Hasrat” – Seni Mengendalikan Diri

Socrates dan Spiritualitas Modern

Meski Socrates hidup di era politeistik Yunani kuno, makna "dewa" atau "Tuhan" dalam kutipannya dapat dipahami secara lebih luas dalam konteks spiritualitas modern. Ia yang paling sedikit keinginannya adalah ia yang paling dekat dengan nilai-nilai ketuhanan: keheningan, kedamaian, kebijaksanaan, dan kasih sayang.

Halaman Selanjutnya
img_title